Aroma kopi yang menggoda dan suasana cozy di coffee shop kekinian seringkali menarik perhatian kaum muda. Namun, di balik gaya hidup modern itu, ada sebuah fenomena yang cukup aneh: penolakan terhadap pembayaran dengan uang tunai.
Beberapa waktu lalu saya mengalami hal ini. Saya ditolak saat hendak membayar kopi dengan uang tunai di sebuah coffee shop. "Cashless only, pak," ujar sang kasir. Artinya, mereka hanya menerima pembayaran melalui QRIS, atau kanal pembayaran non-tunai lainnya, seperti kartu debit atau kartu kredit.
Kejadian ini membuat saya bertanya-tanya, apakah uang tunai sudah tidak berlaku lagi di Indonesia? Padahal, menurut Pasal 22 Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, jelas disebutkan bahwa setiap orang atau institusi dilarang menolak untuk menerima rupiah sebagai pembayaran yang sah di wilayah NKRI.
Dalam pandangan saya, kondisi ini bisa terjadi lantaran dorongan digitalisasi sistem pembayaran disikapi secara berlebihan oleh para pelaku usaha. Mereka terbuai berbagai keunggulan dari sistem pembayaran digital yang belakangan memang menunjukkan peningkatan penggunaan yang signifikan.
Menurut data Bank Indonesia (BI), pengguna QRIS saja (di luar kartu debit dan kartu kredit) per September 2024 mencapai 53,3 juta akun, dengan volume mencapai 4,08 miliar transaksi. Dari volume transaksi total sebesar itu, 35,9 persennya merupakan transaksi yang dilakukan oleh pedagang eceran di sektor makanan dan minuman.
Salah satu alasan utama tingginya penggunaan sistem pembayaran digital adalah efisiensi. Merchant tak perlu lagi repot menghitung uang tunai, menyortir pecahan, atau khawatir kekurangan uang kembalian. Semua tercatat otomatis dan tersimpan rapi di sistem, memudahkan pencatatan keuangan dan rekonsiliasi di akhir hari. Waktu yang dihemat bisa dialokasikan untuk melayani lebih banyak pelanggan atau fokus pada pengembangan usaha.
Selain itu, sistem pembayaran digital juga mengurangi risiko kehilangan dan pencurian. Uang tunai rentan terhadap human error, baik kesalahan penghitungan maupun kecurangan. Dengan sistem digital, semua transaksi tercatat dengan jelas, meminimalisir potensi manipulasi dan meningkatkan keamanan. Para pedagang pun bisa tidur lebih nyenyak, tak perlu khawatir uang hasil jerih payah raib di tangan yang salah.
Tak ketinggalan, sistem pembayaran digital juga membuka akses ke pasar yang lebih luas. Dengan adanya platform e-commerce dan media sosial, pedagang bisa menjangkau konsumen di seluruh Indonesia, bahkan mancanegara. Transaksi lintas batas pun menjadi lebih mudah dan cepat, tanpa harus repot menukar mata uang asing. Hal ini tentu saja berdampak positif pada peningkatan penjualan dan pertumbuhan bisnis.
Menyikapi kondisi ini, BI selaku regulator dan pengawas sistem pembayaran di Indonesia mengimbau kepada seluruh merchant untuk tetap menyediakan ruang untuk pembayaran tunai. Toh, baik digital maupun tunai, pada dasarnya adalah menggunakan rupiah.
"Sekali lagi saya tegaskan, karena berkali-kali ini pertanyaan yang sama. Tentunya kita mengharapkan semua merchant tetap menerima uang tunai," terang Doni P. Joewono, Deputi Gubernur BI, seperti dilansir BloombergTechnoz.com. Perbedaan keduanya hanya terletak pada cara dan kanal pembayarannya saja. Secara prinsipnya, kedua sistem transaksi tersebut tetap menggunakan mata uang rupiah.