Menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi, beberapa indikator ekonomi Indonesia menunjukkan tanda-tanda pelemahan.
Deflasi yang telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut, dari Mei hingga September 2024, dianggap sebagai salah satu indikator melemahnya daya beli masyarakat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun sebesar -0,12 persen pada awal Oktober 2024, lebih dalam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar -0,03 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2024 juga tercatat melambat, menjadi 5,05 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal I 2024 yang mencapai 5,11 persen.
Indikator lain yang memperkuat tesis pelemahan ekonomi adalah menurunnya indeks Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur yang telah berada di posisi kontraksi selama tiga bulan berturut-turut.
PMI Manufaktur memiliki rentang nilai antara 0-100, di mana angka di atas 50 mengindikasikan ekspansi pertumbuhan sektor manufaktur meningkat, sedangkan di bawah 50 menunjukan kontraksi atau penurunan aktivitas manufaktur.
Data PMI Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P menunjukkan angka di bawah 50 sejak Juli 2024 hingga September 2024. Juli 49,3, Agustus 48,9, dan September 49,2, angka ini menandakan penurunan aktivitas manufaktur.
Menurut Paul Smith, Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence, hal ini disebabkan oleh melemahnya permintaan global akibat lesunya perekonomian dunia.
Kondisi ini diduga menjadi pemicu meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat kenaikan jumlah PHK pada September 2024 menjadi 52.993 tenaga kerja.
Penjualan kendaraan bermotor, yang sering dijadikan indikator kondisi ekonomi, juga menunjukkan tren penurunan.