Indonesia mencatatkan deflasi selama 5 bulan berurut-turut, sejak Mei hingga September 2024. Ini merupakan rekor terpanjang dalam 25 tahun terakhir dan mengingatkan kita pada masa krisis moneter tahun 1998, di mana Indonesia juga mengalami deflasi panjang.
Deflasi, kebalikan dari inflasi, adalah penurunan tingkat harga umum barang dan jasa secara terus-menerus. Deflasi Indonesia pada September 2024 sebesar -0,12 persen, yang menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), terutama disebabkan oleh penurunan harga makanan, minuman, dan tembakau.
Deflasi berturut-turut ini dianggap buruk, padahal secara teori jika itu yang terjadi nilai uang kita terhadap barang justru meningkat, ini menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Apalagi sebagian pakar ekonomi menyebutnya sebagai tanda penurunan daya beli, sementara pakar ekonomi lain berpendapat sebaliknya.
"Deflasi beruntun tak serta merta menunjukan penurunan daya beli," katanya.
Pemerintah sendiri seperti yang diungkapkan oleh Menteri Kordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan bahwa deflasi ini didorong oleh penurunan harga komoditas, faktor musiman, dan keberhasilan mengendalikan harga kebutuhan pokok, bukan karena daya beli masyarakat yang melemah.
"Yang turun adalah volatile food, itu yang dikerjakan oleh TPIP. Kenapa volatile food dikejar? Karena kalau harga pangan terjangkau daya beli akan meningkat," ujarnya seperti dilansir Kompas.com.
Situasi ini mirip dengan kondisi di tahun 2022, ketika inflasi tinggi mencapai 5,51%, memicu kekhawatiran banyak pihak. Sebagai masyarakat awam, kita jadi bingung: inflasi tinggi dikatakan buruk, deflasi juga dikatakan salah.
Lalu, apa sih sebenarnya yang diinginkan?
Jawabannya sebenarnya cukup sederhana, meskipun agak struggle untuk dicapai, yakni stabilitas harga.