Utang negara, sebuah topik yang kerap kali memicu perdebatan sengit, terutama di ranah politik dan media sosial. Menjelang Pemilihan Umum, isu utang negara seakan menjadi "senjata" ampuh bagi pihak oposisi untuk mengkritik pemerintah yang berkuasa.
Di sisi lain, pemerintah yang sedang berkuasa pun tak jarang memanfaatkan isu ini untuk menunjukkan keberhasilan dalam pengelolaan ekonomi atau membenarkan kebijakan-kebijakan tertentu.
Mengapa utang negara begitu mudah dipolitisasi? Salah satu alasannya adalah kompleksitas dan sensitivitas isu ini, yang melibatkan berbagai variabel ekonomi dan politik.
Pemahaman yang kurang memadai tentang konsep utang negara di sebagian besar masyarakat, dapat menyebabkan kesalahpahaman dan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
Selain itu, perbedaan pandangan yang signifikan di antara berbagai kelompok politik mengenai bagaimana seharusnya utang negara dikelola juga turut memperkeruh suasana.
Beberapa pihak mungkin lebih konservatif dan menekankan pentingnya penghematan dan pengurangan utang, seperti yang diungkapkan oleh ekonom Friedrich Hayek yang berpendapat bahwa utang yang berlebihan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan inflasi.
Sementara yang lain mungkin lebih progresif dan berpendapat bahwa utang dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, sejalan dengan pandangan John Maynard Keynes yang menganjurkan penggunaan kebijakan fiskal ekspansif, termasuk utang, untuk mengatasi resesi.
Walaupun, pada akhirnya, siapapun yang berkuasa, saat memerintah pasti akan menambah utang negara.
Tapi ya begini lah yang terjadi, politik itu kan tentang persepsi, karena keinginan berkuasa, sesuatu yang lazim dalam pengelolaan keuangan negara, seperti utang negara, bisa di twist sedemikian rupa untuk membuat persepsi masyarakat terhadap pemerintah menjadi tidak baik.