Lihat ke Halaman Asli

Efwe

TERVERIFIKASI

Officer yang Menulis

Chilean Paradox, Nestapa Kelas Menengah Indonesia dan Tarif KRL Berbasis NIK

Diperbarui: 2 September 2024   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penumpang menunggu kedatangan kereta rel listrik (KRL) Commuterline tiba di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Kamis (9/5/2024) | KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA


Syahdan, di sebuah negara di Selatan Benua Amerika, sekitar lima tahun lalu, tepatnya pada Oktober 2019, pemerintah Chili mengumumkan kenaikan tarif metro (kereta bawah tanah) yang membelah ibu kotanya, Santiago, sebesar 30 peso Chili atau sekitar Rp 500 pada jam sibuk. 

Bayangkan hanya Rp500, kenaikan yang terbilang tak terlalu signifikan sebenarnya, namun ternyata kenaikan ini dianggap tak kecil, alih-alih memberatkan bagi banyak warga, terutama pelajar dan pekerja berpenghasilan rendah yang sangat bergantung pada transportasi publik.

Mengutip sejumlah sumber informasi yang saya dapatkan, ada sekitar 2,2 juta orang setiap hari yang menggunakan Metro ini.

Dipicu oleh kebijakan kenaikan tarif Metro yang merupakan tulang punggung transportasi umum di Ibu Kota Chili itu (di Indonesia mungkin bisa disamakan dengan Kereta Commuterline Jabodetabek), aksi protes mulai muncul yang dilakukan dengan cara "penghindaran" tarif.

Para pelajar menolak membayar tarif baru dengan cara melompati pintu putar di setiap stasiun Metro. Aksi ini kemudian meluas, tak hanya pelajar, para pekerja dan masyarakat lain pun melakukan hal yang sama.

Protes lewat penghindaran bayar ini, kemudian bergulir menjadi demontrasi berjilid-jilid yang terus membesar bak bola salju dari waktu ke waktu.

Dan yang dituntut pun melebar, bukan hanya pembatalan kenaikan tarif. Tetapi juga perubahan sosial dan kebijakan ekonomi yang lebih luas.

Isu kenaikan tarif KRL-nya Santiago ini, sepertinya menjadi pintu masuk bagi masyarakat Chili untuk menyampaikan ketidakpuasannya terhadap berbagai kebijakan ekonomi Pemerintah Chili yang terkesan menganatirikan kelas menengah.

Kemarahan masyarakat Chili kian menggelegak, terbukti dengan imbuhan kekerasan dalam demostrasi di berbagai kota di Chili, fasilitas publik dan kantor-kantor pemerintah dirusak, bentrok dengan petugas keamanan tak terhindarkan, korban luka-luka mulai berjatuhan.

Puncaknya, terjadi pada 25 oktober 2019, di mana lebih dari satu juta orang turun ke jalan di Santiago dengan tuntutan yang lebih luas lagi, mencakup, reformasi konstitusi, peningkatan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta pengurangan ketimpangan sosial, bahkan hingga menuntut mundur Presiden Sebastian Pinera yang saat itu memasuki periode ke-2 Pemerintahannya.

Untuk merespon kemarahan massa yang kian membesar tak tertahankan, Pemerintah Chili memberlakukan keadaan darurat dan mengerahkan militer ke jalan-jalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline