Di penghujung hari, ketika jarum panjang jam hampir menyentuh angka 12, saat saya membuka situs Kompasiana, seorang Kompasianer bernama Shinta Kristanti nge-vote salah satu tulisan lama yang saya upload pada 13 Februari 2022, hampir 2 tahun lalu, yang saya beri judul "Memaknai Lagu "What a Wonderful World" Dalam Prespektif Kekinian Indonesia" yang ternyata sudah dibaca sebanyak 13.814 kali.
Bukan viewernya yang membuat saya merasa perlu untuk kembali membahas artikel yang berkisah tentang makna dibalik lagu "What a Wonderful World" yang diciptakan oleh Bob Thiele dan George David Weiss dan dinyanyikan pertama kali oleh Louis Amstrong pada tahun 1967, tapi relevansi tujuan penciptaan lagu ini dengan situasi Indonesia menjelang Pemilu 2024 yang kian memanas.
Apakah kemudian tujuan tersebut tercapai, belum ada tesis valid terkait hal ini. Tapi yang jelas, salah satu lagu paling ikonik dalam 60 tahun terakhir itu, jika kita dengarkan memang memunculkan rasa tentram dan tenang, tapi dalam saat bersamaan mampu membangun optimisme, bahwa perjalanan hidup di dunia ini, jika dilalui dengan rasa syukur penuh keguyuban dan menghargai perbedaan. maka semuanya akan baik-baik saja.
Bayangkan ketika setiap manusia yang melata di Tanah Air tercinta ini, sepanjang waktu tanpa mengenal suku, agama, ras atau pilihan politik saling bertegur sapa penuh rasa takzim dan saling menyayangi satu sama lain seperti yang dituangkan dalam penggalan lirik lagu ini.
"I see friends shaking hands. Saying, How do you do? They're really saying ....... I love You"
Rasa dan situasi seperti ini, sebenarnya sudah berlangsung lama di Negeri ini, sayangnya entah karena masih belum matang berpolitik atau memang para elitenya memiliki kemampuan agitasi dan propaganda yang luar biasa hebat, hampir setiap menjelang Pemilu di Negeri +62 yang konon katanya paling ramah dan penuh rasa toleransi, penduduknya mendadak bengis, pandangan politik dipaksakan agar seragam, tak sehaluan akan dianggap bodoh atau dituding berkelakuan buruk.
Saling hujat, saling menyebarkan berita bohong, saling memelintir pernyataan, dan melontarkan ujaran kebencian antar sesama anak bangsa dianggap sebagai sesuatu yang wajar saja, pesan busuk bertebaran di berbagai platform media sosial dan mungkin saja di dunia nyata, meski saya belum melihat dan merasakan langsung itu terjadi.
Memang suasana keterbelahan di Pilpres 2024, dirasakan tak se-extreme Pilpres 2019 atau 2014 lalu, tapi hingga titik tertentu, terutama di dunia maya ambience keterbelahannya sangat terasa dengan cara yang berbeda.
Semua itu dilakukan demi satu hal, KEKUASAAN.
Sedih karena menyaksikan situasi buruk ini terus berulang, tertekan karena seperti kehilangan kebebasan untuk menyampaikan apa yang kita yakini, dan penuh ketegangan, itu lah yang saya rasakan menjelang hari H pencoblosan , 14 Februari 2024.