Quick Response Indonesia Standard (Qris) yang dirancang dan diterbitkan oleh Bank Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu upaya paling revolusioner dalam sistem pembayaran Indonesia.
Teknologi digital menjadi jembatan emas bagi inovasi di bidang pembayaran yang merupakan bagian dari visi Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 Bank Indonesia (BI).
Mengutip Bank Indonesia, visi ini merupakan respon atas perkembangan digitalisasi yang ditenggarai bakal merubah lanskap risiko secara signifikan, yakni meningkatnya ancaman siber, persaingan monopolistik, shadow banking yang dapat mengurangi efektivitas pengendalian moneter, stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran.
Qris pertama kali diperkenalkan kepada publik oleh BI bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74, 17 Agustus 2019, untuk selanjutnya diimplementasikan secara nasional, efektif mulai 1 Januari 2020.
Dalam perjalanannya, keberadaan Qris memang terbukti memberikan begitu banyak kemudahan bagi masyarakat, konsumen maupun para pelaku ekonomi, terutama para pengusaha UMKM.
Jika kita amati, terutama di wilayah-wilayah Pulau Jawa Bali, nyaris seluruh para pelaku UMKM sudah mengadopsi sistem pembayaran menggunakan Qris ini.
Menurut data yang dipaparkan oleh BI pada acara Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia(FEKDI) 2023 yang dilaksanakan pada 7-10 Mei yang kebutulan saya hadiri kemarin, hingga bulan Maret 2023, Qris sudah ada di 514 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia, 416 Kabupaten dan 98 Kotamadya.
Jumlah merchant yang sudah bergabung menggunakan Qris hingga bulan yang sama mencapai 231.767 pihak dengan jumlah pengguna secara keseluruhan di seluruh wilayah Indonesia mencapai 32,5 juta pengguna, kurang 12,5 juta pengguna dari target yang dicanangkan BI pada tahun 2025 untuk Qris, yaitu sebanyak 45 juta pengguna.
Sementara, jumlah transaksi melalui Qris sampai dengan Maret 2023 mencapai Rp. 1,054 triliun.
Dari ratusan ribu merchant yang sudah menggunakan Qris sebagai salah satu alat pembayarannya, sebagian dari mereka adalah pelaku usaha super mikro seperti para pedagang baso gerobak, penjual gado-gado, hingga para pedagang "palu gada" di kaki lima.
Mungkin sebagian dari para pelaku usaha mikro tersebut belum terpapar oleh sistem keuangan konvensional, seperti misalnya perbankan atau dalam konteks ini, bahkan memiliki rekening bank saja tidak, karena keterbatasan literasi keuangan.