Kebijakan jalan berbayar secara elektronik atau ERP kini aturannya tengah digodok oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Detil operasional terkait ERP ini termaktub dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik.
Seperti halnya kebijakan ganjil-genap, ERP bertujuan untuk mengurangi tingkat kemacetan di Ibukota Negara Indonesia ini yang semakin akut, setelah intensitas pandemi Covid-19 berkurang, sehingga mobilitas masyarakat kembali normal.
Dengan ERP, nantinya ruas-ruas jalan di Jakarta bakal berbayar seperti jalan tol, minus gerbang tol, dengan kisaran tarif ERP antara Rp.5.000-Rp.19.000 per sekali lewat.
Harapannya, dengan ERP ini masyarakat ogah menggunakan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan umum. Ndilalahnya Kebijakan anggaran pemerintah seperti ogah ngopeni angkutan umum secara maksimal.
Contoh, angkutan umum massal berdaya angkut massif seperti kereta rel listrik (KRL) commuter line, subsidinya irit banget dengan dalih tepat sasaran.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan, bahkan saat ini sedang merancang aturan agar kebijakan subsidi dalam bentuk public service obligation bisa lebih tepat sasaran dengan membedakan tarif KRL berdasarkan kemampuan ekonomi para penumpangnya.
Sekilas saja, sebagai masyarakat awam kita dapat membaca bahwa dua "calon" kebijakan itu kontradiktif satu sama lain. Di satu sisi, katanya ingin masyarakat berpindah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Di sisi lainnya, untuk beralih ke angkutan umum pun dipersulit dengan kebijakan-kebijakan absurd yang tak ramah diterapkan pada layanan angkutan umum.
Jadi maunya Pemerintah itu apa sebenarnya? Masyarakat biar hidup susah gitu, Pemerintahan macam apa seperti itu!!
Mbo yah kalian ini sebagai Pemerintah bisa berkoordinasi sebelum membuat aturan, agar saling mendukung dan sinkron satu sama lain untuk melahirkan sebuah tujuan yang sama.