Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR-RI Senin (21/11/22) awal pekan ini, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengungkapkan kondisi ekonomi disejumlah negara termasuk negara-negara kekuatan ekonomi dunia mulai mengalami pelambatan.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang semula diprediksi tumbuh sekitar 3 persen tahun ini, kemungkinan turun ke level 2,6 persen. Bahkan ada kemungkinan turun lebih dalam lagi menjadi 2 persen.
Menurut proyeksi Bank Indonesia, resesi ekonomi hampir pasti terjadi di Amerika Serikat dan Eropa pada 2023 mendatang, probalitas terjadi resesi hampir 60 persen.
"Resesi di AS dan di Eropa. Resesi di AS probabilitasnya mendekati 60 persen, apalagi di Eropa, bahkan kondisi winter tahun ini belum yang terburuk, tahun depan yang terburuk karena ini berkaitan dengan geopolitik, fragmentasi politik ekonomi, dan investasi," ungkap Perry.
Mengutip Otoritas Jasa Keuangan, kata Resesi dalam prespektif ekonomi adalah suatu kondisi di mana perekonomian suatu negara memburuk yang ditandai dengan produk domestik bruto negatif,angka pengangguran meningkat pertumbuhan ekonomi riil negatif setidak-tidaknya selama dua kuartal berturut-turut.
Isu resesi 2023 belakangan terus mengemuka, sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan hal yang sama, dunia akan tergoncang akibat resesi.
Menkeu, menambahkan bahwa China yang selama ini menjadi semacam booster perekonomian dunia akan mengalami pelambatan yang signifikan.
Menurut sejumlah sumber, ekonomi China melambat signifikan pada kuartal II-2022, Negeri Tirai Bambu ini hanya tumbuh 0,4 persen saja, padahal kuartal sebelumnya pertumbuhan ekonominya 4,8 persen.
Tak hanya itu, kondisi resesi tahun depan diprediksi bakal diimbuhi dengan melonjaknya angka inflasi atau high inflation, tahun ini saja rata-rata inflasi global sebesar 9,2 persen.
Angka inflasi sebesar itu akibat situasi geopolitik dunia yakni perang Rusia versus Ukraina yang tak kelar-kelar sehingga mendorong harga pangan dan energi dunia naik cukup tinggi.