Jujur saja saya kok agak terganggu dengan pihak-pihak yang mempermasalahkan bahkan terkesan mengecilkan dan lebih jauh lagi hingga men-disgrace ritual pawang hujan pada saat gelaran MotoGP Mandalaka.
Seperti yang saya saksikan lewat siaran langsung di salah satu stasiun televisi swasta, saat hujan mengguyur deras Sirkuit Pertamina Mandalika terlihat seorang perempuan bernama Rara membawa guci kuningan kecil sambil membaca-baca mantra.
Harapannya dengan ritual dan mantra-mantra yang dirapalkan olehnya, hujan memang tak mereda seketika.
Namun tak lama kemudian mungkin kurang lebih 30 menit setelah sang pawang hujan selesai melakukan ritualnya, derasnya hujan mulai mereda, dan balapan MotoGP segera bisa dilaksanakan.
Terlepas dari perdebatan apakah mba Rara Istiani berhasil melakukan tugasnya sebagai pawang hujan atau tidak.
Namun banyak pihak yang merasa dirinya bagian dari masyarakat modern mencemooh ritual ini seolah hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat aneh untuk dilakukan.
Padahal dimana anehnya, faktanya saya atau mungkin anda bersama bermilyar orang di dunia ini setiap hari melakukan membaca mantra, ajian, doa atau apapun itu nama ritualnya berharap "Hukum Alam Direvisi"
Bahkan ritual berharap hukum alam bisa direvisi pun diperbolehkan dalam Islam. Umat Islam pastinya mengetahui keberadaan Shalat Istisqa untuk meminta hujan supaya turun.
Meskipun tentu saja berbeda ritual yang dilakukannya, tapi untuk urusan ritual kan tergantung pada kepercayaannya masing-masing, so be it.
Memang bagi masyarakat modern perkotaan pawang hujan agak sulit diterima, tetapi nun jauh dipelosok-pelosok desa yang masih di dominasi unsur tradisional pawang hujan masih menunjukan eksistensinya.
Menurut sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan, konsepsi pawang hujan ini tidak menghilangkan hujan.