Lihat ke Halaman Asli

Efwe

TERVERIFIKASI

Officer yang Menulis

BPJS Ketenagakerjaan Harus Lebih Komunikatif dan Transparan Untuk Menyikapi Polemik JHT

Diperbarui: 17 Februari 2022   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis.com

Gonjang-ganjing urusan Jaminan Hari Tua terus bergulir. Beberapa organisasi buruh Rabu (16/02/21) kemarin melakukan unjuk rasa di Kementerian Tenaga Kerja, menuntut dicabutnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenker) nomor 2 tahun 2022 dasar hukum JHT baru bisa dicairkan pada saat usia peserta 56 tahun.

Bahkan saking masygulnya, para pengunjuk rasa meminta kepada Presiden Jokowi untuk mencopot Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah.

Well, sebenarnya kebijakan baru tapi lama Menaker yang mengundang amarah para pekerja ini, sudah bagus dan dalam prespektif pengelolaan keuangan sudah benar.

Namun sayang, jika diamati konstelasinya di dunia maya, penolakan masyarakat pekerja pada aturan baru JHT itu  ada unsur ketidakpahaman dan ketidakpercayaan.

Keridakpahaman terhadap fungsi JHT yang diimbuhi oleh inkonsistensi aturan yang dirilis pemerintah, karena dalam aturan sebelumnya Permenker nomor 19 tahun 2015,  JHT boleh dicairkan kapan saja, sepanjang pekerja dalam posisi tidak bekerja selama minimal satu bulan.

Masalah ketidakpercayaan, masyarakat tak percaya pada pemerintah dan pengelola dana JHT yaitu BPJS Ketenagakerjaan.

Oke mari kita telisik secara sederhana, bagaimana BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana iuran milik para pekerja di seluruh wilayah Indonesia.

Pertama, saya menduga ketidakpercayaan pekerja pada pengelolaan uang milik mereka lantaran ada kasus dugaan korupsi yang membelit BPJS Ketenagakerjaan yang hingga kini masih belum jelas duduk perkaranya.

Seperti kita tahu, Kejaksaan Agung tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi di lembaga eks PT. Jamsostek pada akhir 2020 lalu.

Para penyelidik Kejagung, saat itu menyelidiki nilai investasi BPJS Ketengakerjaan sebesar Rp. 43 triliun yang ditempatkan di saham dan reksadana.

Nilai investasi itu disebut-sebut menjadi potensi kerugian uang negara. Bagaimana bisa uang yang dikelola semakin besar, tetapi nilai hasil investasinya terus turun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline