Apabila kita amati secara seksama lewat berbagai media sosial saat ini, sepertinya politik identitas masih akan digunakan dalam Pemilu 2024 mendatang.
Terlihat jelas jargon-jargon yang merupakan bagian dari manuver politik para pihak yang akan bermain dalam pemilu 2024 masih berkutat di seputaran "Cebong dan Kadrun"
Cebong seperti halnya dalam periode pemiilu 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pemilu 2019 mengidentifikasi dirinya dengan narasi Pancasila yang nasionalis, merawat ke-Bhineka Tunggal Ika-an, penuh toleransi dan saat ini merupakan pemegang kuasa atas Indonesia.
Sementara Kadrun, adalah mereka yang dianggap sebagai bagian dari masyarakat konservative yang menjadikan agama Islam menjadi dasar segala tindakannya.
Mereka dianggap kurang toleran, tak nasionalis, dan mereka adalah pihak yang saat ini menjadi "oposisi."
Cebong menyematkan sangkaan pada kadrun bahwa mereka itu kaum radikal, yang sama sekali tak menghargai perbedaan.
Sementara Kadrun melabeli cebong sebagai oligarki politik yang manipulatif, tukang ngutang dan gemar membungkam mereka yang berbeda pendapat.
Konstelasi politik seperti ini tuh serupa dan sebangun dengan kondisi saat konstestasi politik Indonesia dalam 10 tahun belakangan.
Menyedihkan memang, tapi itulah refleksi mendasar, bagaimana kita melihat Indonesia dalam konteks politik mutakhir.
Hal itu bermakna, telah terjadi semacam ideologisasi politik. Jelas sekali polarisasi yang muncul dalam 8 tahun terakhir di ranah politik Indonesia merupakan danpak dari ideologisasi.
Proses pembelahan menggunakan ideologi yang ditopang oleh politik etnis dan agama sebagai basisnya, tetapi terlihat adanya kelompok-kelompok yang saling berbagi kepentingan, saling menunggangi satu sama lain.