Keberadaan sarana transportasi kereta api dengan kecepatan 350 km per jam yang dikategorikan dalam kereta cepat merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi sebuah negara.
Kereta cepat dianggap prestisius yang menjadi penanda atau simbol bagi sebuah negara agar disebut negara maju dan modern atau paling tidak tengah menuju gerbang negara modern, karena kecanggihan teknologinya.
Indonesia akan segera memiliki kereta cepat rute Jakarta -Bandung berkecepatan 350 km per jam yang peletakan batu pertamanya telah dilakukan pada Januari 2016 lalu oleh Presiden Jokowi.
Target megaproyek seharusnya sudah selesai tahun 2021 ini tetapi lantaran sejumlah sebab diantaranya kendala teknis, pendanaan dan pandemi Covid-19 Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kemungkinan akan molor 12 bulan, baru akan selesai tahun 2022 akhir.
Saat ini progres pembangunannya sudah mendekati 80 persen. Proyek kereta cepat sepanjang 142 km yang awalnya menelan investasi Rp.86,25 triliun kini membengkak Rp. 28 triliun menjadi Rp. 114,25 triliun.
Kondisi ini menjadi polemik di tengah masyarakat apalagi kemudian untuk menambal pembengkakan anggaran tersebut melalui Peraturan Presiden (Perpres) nomor 93 tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres nomor 107 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung, Presiden Jokowi memberi lampu hijau dananya berasal dari APBN.
Sesuatu yang sebelumnya diharamkan oleh Pemerintah Jokowi. Pemerintah beralasan, opsi pendanaan dari APBN terpaksa harus diambil lantaran 4 BUMN yang terlibat dalam megaproyek KCJB PT. WIKA, PT KAI, PT.Jasa Marga, dan PT. Perkebunan Nusantara VIII terkena dampak pandemi Covid-19 akibatnya tak mampu lagi menyetor modal karena kemampuan finansial mereka turun.
Seperti diketahui, dalam membangun megaproyek KCJB dibentuk perusahaan patungan bernama PT.Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang terdiri dari 2 konsorsium, 4 BUMN tadi yang tergabung di bawah bendera PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan Konsorsium Beijing Yawan dari China dengan komposisi kepemilikan saham 60 persen konsorsium BUMN Indonesia dan 40 Konsorsium China.
Dengan komposisi kepemilikan saham seperti itu, Konsorsium BUMN PSBI harus menyetor modal Rp. 12,94 triliun, sementara Konsorsium Beijing Yawan dengan kepemilikan sebesar 40 persen menyetor modal Rp. 8,63 triliun untuk menggenapi modal dasar PT.KCIC yang sebesar Rp.21,56 triliun seperti yang sudah ditetapkan, mengacu pada 25 persen dari asumsi awal kebutuhan biaya proyek KCJB senilai Rp. 86,25 triliun atau senilai US$ 6,07 milyar.
Dengan 25 persen biaya proyek dipenuhi dari modal dasar, 75 persen dana awal sebesar Rp.64,69 triliun yang dibutuhkan merupakan pinjaman yang berasal dari China Development Bank.
Dana tambahan yang dikucurkan Pemerintah dari APBN ini, nantinya akan menggunakan model penyertaan modal negara ke PT KAI yang dalam Perpres 93/2021 menjadi leader Konsorsium BUMN menggantikan BUMN lain PT WIKA.