Semalam saya untuk kesekianpuluh kalinya kembali menonton film "Pengkhianatan G30S/PKI" besutan Arifin C Noer. Meskipun film tersebut disajikan sama seperti saat pertama kali menonton di akhir 1980an, tetapi prespektif saya dalam menonton film tersebut sudah berbeda.
Terutama yang berkaitan dengan tokoh Soeharto, media seperti film ini memang memiliki kekuatan untuk mengkontruksi, membentuk persepsi dan penilaian terhadap sebuah bangunan sejarah yang ingin terlihat oleh publik.
Tokoh Soeharto dalam film ini ditampilkan seperti sosok "Rambo" yang sangat protagonis dengan tindakan sangat heroik, penuh perhitungan, dan terlihat betul menguasai lapangan.
Namun, kontruksi yang coba disajikan dalam film "G30S/PKI" tersebut mulai memudar seiring keterbukaan dan kebebasan informasi lebih terbuka pasca reformasi 1998.
Kebenaran tunggal sejarah terkait peristiwa kelam 1965 itu sudah tak ada lagi. Hal tersebut didorong oleh keterbukaan dan kebebasan mendapatkan informasi sehingga menumbuhkan rekacipta suatu peristiwa sejarah dan tokohnya.
Selain itu, perkembangan teknologi informasi harus diakui memiliki peran yang sangat besar terhadap penciptaan narasi lain tentang peristiwa G30S tersebut.
Narasi lain ini lahir dari memori kolektif para pelaku, saksi, dan pengamat peristiwa sejarah tersebut.
Nah, lantas siapa yang menyampaikan memori kolektif tersebut kepada masyarakat sehingga membentuk sebuah prespektif baru dari sebuah sejarah?
Media memiliki porsi cukup besar dalam menuntaskan penyampaian narasi lain terkait peristiwa G30S kepada masyarakat.
Selain tentu saja literatur-literatur yang sebenarnya ada sejak lama tetapi lantaran dihalangi penyampaiannya oleh pemerintah Orde Baru kepada masyarakat menjadikan pembentukan narasi lain dalam peristiwa G30S terhambat.
Dalam versi catatan sejarah Orde Baru seperti yang digambarkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, peran antagonis dalam peristiwa tersebut adalah tunggal yakni PKI.