Kisruh perebutan kuasa di Partai Demokrat dan banyak cerita lain serupa yang terjadi, membuktikan ketika mereka memainkan kekuasaan, sepertinya justru merekalah yang lantas dipermainkan kekuasaan.
Bisa jadi politik kekuasaan memang memberi mahkota, tapi dalam saat bersamaan meminta kepala beserta seluruh akal sehat yang berada di dalamnya.
Boleh jadi kekuasaan menyematkan tanda-tanda kebesaran di dada, tetapi kerap kali disertai dengan merampas hati nurani.
Saling klaim menjadi pemilik kebenaran demi meraih kekuasaan dipertontonkan dengan gamblang dalam kisruh Partai Demokrat.
Berjuta kata terlontar, beribu narasi terkontruksi dari mulut dan tulisan mereka yang bertikai untuk kekuasaan hanya agar mereka dianggap pemilik kebenaran dalam versi masing-masing.
Peristiwa kekisruhan di Partai Demokrat merupakan cerminan yang jelas positioning pola kekuasaan dalam Partai Politik.
Lantaran secara konsepsi ideal demokrasi, partai politik merupakan aktor utama dalam perwujudan reperesentasi politik yang menjadi jembatan menuju kekuasaan.
Akan tetapi jika dicermati, partai politik di Indonesia tak serta merta bisa menjadi representasi utama suara masyarakat Indonesia.
Partai politik di Tanah Air, lebih menjadi kavling suara para "pemilik" oligarki politik yang merepresentasikan kepentingan ekonomi politik dan rasa dahaga mereka terhadap kekuasaan.
Partai politik sepertinya hanyalah mewakili kepentingan Cikeas, Teuku Umar, Hambalang, Cendana, atau sejumlah tempat lain dimana oligarki lebih kecil berada.
Masyarakat atau kita semua hanyalah merupakan objek politik bagi mereka. Buktinya, meskipun oligarki tidak bersifat statis, penguasa Istana bergantian tapi nasib rakyat tak beringsut jauh, alias begini-begini aja.