Lihat ke Halaman Asli

Efwe

TERVERIFIKASI

Officer yang Menulis

Digitalisasi Sertifikat Tanah yang Miskin Komunikasi dan Sosialisasi, Berpotensi Menimbulkan Kekisruhan

Diperbarui: 6 Februari 2021   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Medcom.id

Polemik kembali diciptakan Pemerintahan Jokowi lantaran mereka menyampaikan sebuah kebijakan tanpa merasa perlu mengkomunikasikan terlebih dahulu pada masyarakat padahal kebijakan tersebut memiliki dampak yang sangat luas bagi kehidupan masyarakat.

Kebijakan tersebut adalah masalah sertifikasi kepemilikan tanah yang akan dirubah bentuknya dari fisik menjadi elektronik melalui ketentuan baru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik. Beleid diteken dan berlaku mulai 12 Januari 2021.

Mungkin saja aturan baru tersebut akan memiliki manfaat untuk menekan atau meminimalisir praktik-praktik mafia tanah, kemudahan saat tanah tersebut ditransaksikan, dan menghindari kemungkinan hilang akibat kondisi kahar seperti kebakaran, banjir atau bencana lain yang memungkinkan sertifikat fisik hilang.

Pemerintah melalui Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional menyebutkan bahwa digitalisasi bukti kepemilikan tanah itu harus dimulai sesegera mungkin lantaran sistem data digital itu adalah sebuah keniscayaan.

Saya sepakat dengan ini, arahnya memang  sebagian besar hal-hal administratif akan terdigitalisasi kedepannya.

Namun, pemerintah lupa urusan kepemilikan tanah itu sangat sensitif  bagi masyarakat Indonesia dan tak seluruh masyarakat memahami urusan digitalisasi ini apalagi bagi mereka yang tinggal nun jauh dipelosok sana.

Jika tak tersosialisasikan dengan baik urusan yang tadinya didasari niat baik ini akan menjadi sumber kekacauan baru.

Bayangkan saja, menurut data dari Kementerian ATR dan BPN ada sekitar 126 juta bidang tanah di Indonesia, hingga akhir tahun 2019 tanah yang telah bersertifikat baru sekitar 62,4 juta bidang tanah artinya lebih dari setengahnya tanah di Indonesia belum melakukan sertifikasi.

Selain itu, pendaftaran tanah secara sistematis yang menyeluruh di wilayah Indonesia juga belum dilakukan, padahal hal ini sangat penting dilakukan sebagai database sistem pertanahan secara nasional yang nantinya bisa dipergunakan menjadi basis pelaksanaan reforma agraria.

Ditataran implementasi digitalisasi pun berpotensi menimbulkan masalah karena pada dasarnya yang berhak memvalidasi sertifikat itu hanya BPN, lantas dimana posisi masyarakat, padahal kita tahu juga tanah-tanah bersertifikat pun masih banyak yang bermasalah.

Tak sedikit sertifikat itu ada lebih dari satu untuk bidang tanah yang sama, kemudian ukurannya yang tidak sesuai, sedang bersengketa atau yang tengah berperkara di pengadilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline