Bagi masyarakat Indonesia yang pernah merasakan kehidupan di jaman pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, mungkin pernyataan Puan Maharani Ketua DPP PDIP yang kemudian jadi polemik panjang itu, tak aneh.
Karena jaman Soeharto itu siapapun yang tak mendukung Golkar, maka akan dituduh tak mendukung Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Golkar kala itu merupakan partai politik penguasa yang menentukan merah putih nya negara ini.Istilah kuningisasi terjadi dimana-mana, merujuk pada warna kebesaran Golkar.
Jika sebuah daerah tak memenangkan Golkar dalam Pemilu maka siap-siap saja daerah tersebut dituduh tak Pancasilais.
Soeharto dan Golkar-nya saat itu menjadi satu-satunya partai personifikasi dari Pancasila. Tak Pancasila jika tak Golkar.
Mereka lah seolah yang paling berhak mengklaim dirinya paling Pancasila, walaupun faktanya di lapangan falsafah Pancasila tak mereka praktekkan dengan benar.
Sila kedua dari Pancasila, Kemanusian yang adil dan beradab, tak begitu jelas dilaksanakan. Jika menentang pemerintah Soeharto dalam bentuk apapun maka kemanusian pemerintah akan hilang, si penguasa bakal tega melakukan apapun bahkan hingga menghilangkan nyawa si penentang.
Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawarahan perwakilan, diterjemahkan begitu rupa sehingga secara esensi tak ada lagi itu permusyawarahan, yang ada pura-pura bermusyawarah.
Sila Kelima Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia seperti utopia saat itu. Jika tak dekat dengan penguasa jangan harap keadilan akan datang menghampiri.
Siapapun yang jauh apalagi bersebarangan dengan kekuasaan agak sulit untuk bisa berkehidupan secara layak, stigmatisasi dilakukan dengan begitu masif.
Kondisi tersebut menjadi trauma yang lumayan panjang bagi bangsa Indonesia. Itulah kemudian ketika Puan Maharani sebagai wakil dari partai penguasa berujar