Implementasi Program Kartu Pra Kerja ditengah pandemi Covid-19 memang dipaksakan dan itu tak dapat dipungkiri lagi
Bagaimana bisa sebuah program yang disusun untuk situasi normal harus dijalankan dalam situasi darurat. Meskipun ada penyesuaian disana sini.
Modifikasi yang dilakukan agar program Kartu Pra Kerja bisa fit dengan situasi pandemi tidak berjalan sesuai harapan, jauh panggang dari api begitulah istilah untuk membahasakan kondisi tersebut.
Program pelatihan yang merupakan esensi dari salah satu janji Jokowi dalam Pilpres 2019 itu seperti kehilangan arah.
Awalnya disiapkan bertatapan langsung dengan praktek kerjanya, karena pandemi harus diadaptasi ke dalam sistem online.
Akibatnya sudah dapat ditebak, selain tak berguna larena pelatihan yang diberikan menjadi kehilangan touch-nya juga menjadi bahan gunjingan yang tak sedap.
Jika memang mau membantu para pekerja yang terkena PHK lantaran efek penanganan pandemi, bantu saja secara langsung seperti hal nya bantuan langsung tunai.
Tak usah pula berusaha mencoba sekali dayung dua, tiga pulau terlampaui, memberi bantuan untuk mengurangi efek pandemi namun dalam saat bersamaan menunaikan janji kampanye.
Ketika kemudian pemerintah berkilah bahwa program ini berhasil dengan ukuran begitu banyaknya peminat dalam 3 gelombang program Kartu Pra Kerja ini telah menarik minat yang mendaftar lebih dari 9 juta orang.
Ya iyalah banyak peminatnya, dalam situasi susah seperti saat pandemi ini dimana banyak pekerja yang terkena PHK atau dirumahkan tanpa gaji, uang Rp.600 ribu per bulan selama 3 bulan yang dijanjikan Kartu ini seperti anugerah.
Namun yang mereka incar itu bukan pelatihan yang diberikan seperti esensi dari program ini tapi allowance-nya itu.