Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia, merupakan bentuk terakhir dari sebuah stasiun Televisi milik Pemerintah Indonesia yang akrab disebut TVRI. Pertamakali mengudara pada tanggal 24 Agustus 1962, tak mudah menikmati siaran TV saat itu di Indonesia. Selain harga perangkat TV nya mahal siarannya pun sangat terbatas.
Menara pemancar pertama milik TVRI dibangun pada tahun 1965 di daerah perbukitan Cemoro Sewu Jawa Tengah. Seiring mulai diluaskannya siaran TVRI melalui pemasangan pemancar di beberapa wilayah di Pulau Jawa. Pemerintah mulai memasang pesawat Televisi di tempat-tempat umum seperti, Kantor Kecamatan, Terminal, Stasiun dan di Kelurahan.
Untuk kepemilikan perseorangan, selain pajak, pemilik televisi juga dikenai iuran bulanan. Tahun 1969, misalnya, iuran televisi Rp 200 per bulan dan biaya pendaftaran sekali saja Rp 300, yang semuanya dibayarkan di Kantor Pos. Untuk mendaftarkan televisi, pemilik harus menunjukkan kuitansi pembelian.
Sementara TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi saat itu, secara organisasi pada tahun 1974 berada di bawah tata kerja Departemen Penerangan Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film. Setelah lama dalam dekapan Departemen Penerangan dan kerap kali dipakai oleh pemerintah orde baru menjadi alat propaganda.
Pasca reformasi tahun 1998, TVRI secara kelembagaan berubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) di bawah Kementerian Keuangan pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2002 melalui peraturan nomor 9 tahun 2002 TVRI berubah lagi dari Perusahaan Jawatan menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang secara struktural berada dibawah supervisi Kementerian BUMN.
Nah, kemudian melalui Undang-Undang nomor 13 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP-TVRI) berubahlah kelembagaan TVRI seperti yang kita kenal sekarang. Perubahan kelembagaan TVRI di masa reformasi sebetulnya tak membawa TVRI menjadi lebih baik, konflik dan korupsi selalu menjadi cerita yang mengiringinya.
Konflik internal paling seru di TVRI sebenarnya terjadi pada tahun 2001 saat itu Sumita Tobing menjadi Direktur Utama TVRI. Sumita dianggaptak simpatik dan tak menghargai karyawan-karyawan internal TVRI, oh iya Sumita Tobing sebelum masuk TVRI merupakan salah satu direksi di Metro TV. Konflik internal antar sesama direksi pun terjadi, sampai akhirnya Sumita Tobing memecat 4 direktur lainnya.
Suasana di internal TVRI pun sangat tak kondusif saling curiga terus terjadi. Serikat Pekerja TVRI saat itu mengajukan surat permohonan pemecatan ke lima direksi TVRI. Dan posisi keuangan TVRI saat itu pun morat-marit akibat kosupsi yang dlakukan para pejabatnya. Pada Tahun 2003 utang TVRI sebesar Rp.392 miliar. Jangankan untuk bersaing dengan TV swasta untuk hidup saja sudah susah.
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2005 tentang LPP-TVRI di sahkan, tapi tetap saja TVRI dikelola dengan serampangan, kualitas siaran tak menjadi prioritas, penonton TVRI menukik tajam tapi korupsi kian melambung terjadi di TVRI. pada tahun 2012 Direktur Keuangan TVRI Edhy Machmudi Effendi terbukti melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar RP.14 miliar rupiah. Kemudian ia dijatuhi hukuman penjara selama 8 tahun 6 bulan dengan denda Rp. 5,7 miliar.
Setahun kemudian dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditemukan kejanggalan penggunaan dana Jasa Siaran dan Non Siaran yang diistilahkan sebagai "jasinonsi". Dana "jasinonsi" yang dipakai itu sebesar Rp162 miliar.Padahal, TVRI tak diperkenankan menggunakan dana tersebut. Uang tersebut harus disetor ke kas negara kalaupun TVRI mau memakai dana tersebut harus atas izin dari Kemenkeu.
TVRI memang seperti arena konflik dan bahan bancakan saja, bahkan Presiden Jokowi pada periode pertama pemerintahannya sempat mengungkapkan kekesalannya terhadap posisi keuangan TVRI yang mendapatkan disclaimer 3 tahun berturut-turut. "TVRI ini bolak-balik disclaimer tak rampung-rampung," Ujar Jokowi saat itu seperti yang saya kutip dari tirto.id.