Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di awal tahun 2020 langsung memggebrak, walaupun konon katanya operasi tangkap tangan (OTT) ini sisa pekerjaan dari KPK periode lalu.Namun tetap saja apresiasi harus kita haturkan kepada para penyelidik KPK.
Hari Selasa (07/01/20) lalu 1 rangkaian OTT dilakukan KPK di Jawat Timur, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah beserta pejabat-pejabat SKPD di lingkungan Pemerintah Daerah dan beberapa orang pihak swasta beserta barang bukti uang suap sebesar Rp 1,83 miliar.
Transaksi uang suap ini mengenai proyek infrastruktur di lingkungan Kabupaten Sidoarjo.
Rangkaian OTT ke 2 hari Rabu (08/01/20) terjadi di Jakarta yang melibatkan komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan dan kader-kader dari partai pemenang pemilu 2019 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Rangkaian OTT ke 2 inilah yang kemudian menimbulkan kehebohan dan berbuntut panjang. Karena saat OTT terjadi biasanya diikuti dengan penggeledahan tempat-tempat yang diduga menjadi tempat kejadian perkara.
Nah kali ini berbeda bahkan untuk menempatkan sekedar KPK Line tak bisa dilakukan di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDIP.
Lain dengan kejadian di Kantor KPU dan rumah dinas Komisioner KPU di Menteng Jakarta Pusat mereka sangat kooperatif, ruangan kerja dan rumah dinas berhasil di segel KPK.
Pertanyaannya kemudian mengapa PDIP begitu resisten terhadap proses penyelidikan kasus korupsi ini.
PDIP beralasan bahwa petugas KPK yang datang ke kantor DPP PDIP tidak dilengkapi dengan surat-surat sebagaimana mestinya atau jika kita mengacu pada ucapan salah satu anggota legislatif dari PDIP Masinton Pasaribu dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne Selasa (14/01/20).
Bahwa petugas itu tak diberi izin karena petugas KPK tak bisa membacakan alasan mereka datang ke kantor PDIP.
Sebagai tambahan informasi 2 orang kader PDIP yang ditangkap beserta Wahyu Setiawan itu bernama Ilham dan Doni yang bertugas membantu Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.