Lihat ke Halaman Asli

Menagih Janji Nasionalisme Melalui Bahasa

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Menjadi Indonesia itu tidak sulit. Ke-Indonesia-an kita akan teruji dengan laik melalui cara kita bertutur bahasa. Tutur kata yang baik dan benar merupakan upaya nyata refleksi keteguhan hati dalam menyelami makna nasionalisme secara menyeluruh. Cara sederhana dalam mengejahwantakan nasionalisme kita kini menemui penghalang berupa tembok besar globalisasi. Skema dunia yang menjadi global mengiris tipis tipis bahasa nasional kita.

Dekadensi dalam penggunaan bahasa lisan maupun tulisan merupakan masalah terbesar bangsa ini. Dalam bahasa, tersimpan upaya nyata mengarifi kembali nasionalisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan ‘nasionalisme’ sebagai, kesadaran  keanggotaan  dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.

Secara lugas, dalam berbahasa terdapat upaya nyata dalam menjunjung tinggi integritas. Puing puing nasionalisme yang runtuh akibat tindakan penjajah yang dekstruktif telah dikonservasi secara memesona oleh para pemuda negeri ini. Kala itu, 83 tahun yang lalu, di bawah panji-panji Sumpah Pemuda, pemuda negeri ini mengarifi upaya pemersatuan bangsa melalui penggunaan bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kini, sumpah itu seperti tak memiliki makna kala penggunaan bahasa menjadi begitu seenaknya. Tak pernah laik dan benar.

Kearifan lokal

Upaya mengejahwantakan penggunaan bahasa dengan baik dan benar merupakan skema primer dalam menjunjung tinggi kearifan lokal negeri ini. Ajining diri saka ing lathi. Bahwa nilai pribadi terletak di bibir (ucapan). Praksisnya, kearifan lokal tersebut mengajak kita untuk selalu bertutur dengan bahasa yang baik karena tutur kata merupakan refleksi dari nilai pribadi.

Secara global, penggunaan bahasa yang baik kian menemui maknanya melalui selebrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Tahun Internasional Pemuda 2010 (International Year of Youth). Selebrasi tersebut menempatkan dua fokus primer yaitu ‘Dialog dan Memberi Pengertian Satu Sama Lain’ (Dialogue and Mutual Understanding). Respons PBB terhadap upaya melibatkan pemuda dalam penggunaan bahasa melalui dialog sangat aplikatif. Tujuannya jelas, yaitu menumbuhkan budaya berdialog dan berdiskusi secara lintas generasi pada ranah isu perdamaian, hak asasi manusia (HAM), dan solidaritas antar sesama.

Dalam artikel berjudul ‘Merawat Bahasa Indonesia’ (KOMPAS, 28 Oktober 2011), Salahuddin Wahid  berpendapat bahwa, Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pengikat dan bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana menyebutnya sebagai salah satu mukjizat abad ini. Namun, rasanya kearifan lokal negeri ini melalui bahasa merupakan kearifan lokal tanpa arti manakala praktik di lapangan menunjukkan disparitas bahasa yang nyata. Dalam artikelnya, Salahuddin Wahid menyitat studi oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2006 yang menunjukkan bahwa, kemampuan membaca anak-anak Indonesia baru mencapai angka 392, jauh di bawah kemampuan rata-rata negara-negara OECD yang ada di angka 492.

Nilai-nilai kearifan lokal dalam penggunaan bahasa tersebut juga saya temui di bangku perguruan tinggi (PT). Berteman dengan seluruh pemuda dari beragam daerah makin meyakinkan diri mengenai keberagaman negeri ini. Seorang teman dari Riau dengan bahasa Melayu yang kental. Sementara itu teman yang lainnya dari Pontianak bahkan lancar menirukan dan berkomunikasi layaknya serial ‘Upin dan Ipin’ dari negeri serumpun kita. Pada ranah yang lain, mayoritas teman dari Medan seperti ‘berusaha mengajarkan’ penggunaan bahasa baku yang laik pada saya. Sejak bangku sekolah dasar (SD) hingga PT, saya masih sempat menerima mata kuliah Bahasa Indonesia. Kenyataannya adalah dalam hal aksara dan sastra, negeri ini sungguh kaya!

Nasionalisme konstruktif

Janji nasionalisme dalam berbahasa harus kita tagih pada generasi penerus negeri ini saat ini. Melalui bahasa, nasionalisme yang kian terkikis melalui globalisasi sudah saatnya kita bangkitkan lagi seperti kala 83 tahun lalu. Karena hanya melalui bahasa, aras pendidikan negeri ini mampu mencipta nasionalisme yang konstruktif. Bahasa Indonesia dan kita merupakan dwitunggal dalam sarana menggapai kemajuan bangsa. Bahasa Indonesia dan kita merupakan syarat mutlak dalam memajukan bangsa melalui budaya literasi yang laik.

Sebuah peribahasa lokal bertutur pada kita bahwa, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Selama kita masih berpijak pada Bumi Pertiwi, tak ada alasan untuk tidak menjunjung tinggi bahasa sebagai identitas primer kita. Megapa bahasa menjadi penting karena bahasa korelatif dengan tujuan edukasi. Maryanto, seorang pemerhati politik bahasa, dalam artikelnya ‘Kesenjangan Bahsa Pendidikan’ (Koran Tempo, 01 Mei 2012) secara lugas menyatakan pentingnya penggunaan bahasa kita sendiri. Sulit bagi anak untuk mengakses pendidikan tanpa bahasa sendiri. Keanekaragaman bahasa anak merupakan tantangan dan –sekaligus-peluang menigkatkan mutu layanan pendidikan.

Menagih janji nasionalisme melalui bahasa merupakan tanggung jawab utama para pemuda dan pemudi negeri ini. Hal itu mendapatkan validasi yang nyata melalui Undang Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Secara lugas, pada pasal 17 ayat 2, peran aktif pemuda sebagai kontrol sosial diwujudkan dengan memperkuat wawasan kebangsaan. Jelas bahwa tiga poin primer wawasan kebangsaan telah disampaikan oleh para pemuda negeir ini melalui ikrar Sumpah Pemuda 83 tahun lalu. Bahwa, menggunakan bahasa Indonesia itu memiliki kekuatan hukum yang sangat mendasar.

Selaras dengan pembangunan kepemudaan dan wawasan kebangsaan, UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, memiliki elaborasi yang lugas dalam hal bahasa. Pasal 25 ayat pertama UU tersebut menyatakan dengan eksplisit bahwa, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Ini menunjukkan bahwa tak perlu ada rasa segan karena malu berbahasa Indonesia. Bahwa benar, bahasa Indonesia bukan bahasa kuno.

Bahasa Indonesia dan kita seharusnya kembali menjadi senjata utama dalam menumbuhkan benih nasionalisme di negeri ini. Bahwa benar, bahasa akan menentukan kualitas sebuah bangsa. Bahwa benar, janji nasionalisme melalui bahasa dapat kita tagih melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Secara inklusif, bahasa dan kita menempatkan dwitunggal dalam menagih janji nasionalisme tersebut. Janji nasionalisme yang harus kita bayar lunas melalui bahasa kita, bahasa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline