Lihat ke Halaman Asli

Trilogi Potensi Bangsa

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Diambil dari blog penulis serumenyala.blogspot.com

(Waktu itu ada temen gue yang nyuruh ikut lomba. Sebelumnya segan, tapi ya que sera sera. Alhamdulilah. :) ) Cuma kata temen gue itu (selain ngomen masalah bahasanya yang katanya mantab), "Harusnya kamu 'nembak' di SDM, SDA, kultur, terus coba dihubungkan sama Indonesia Bersinar.. Ya saran aja... Kurang mengena..."  Gue: "Thanks, tararengkyu, teman!" :) Resiprokal itu memang selalu menarik.

Pada awalnya, Indonesia dikenal sebagai negara yang memesona bak permata hijau. Kekayaan alam membentang sepanjang garis khatulistiwa. Pada awalnya pula bangsa Eropa berbondong-bondong ke Indonesia demi rempah-rempah. Pada awalnya juga kita menjadi bangsa yang terjajah. Kejayaan sektor maritim, teknologi pertanian, dan budaya serta kearifan lokal Indonesia mendadak sirna. Penjajahan mewariskan bangsa dengan mental yang terjajah. Katastrofe  mental bangsa terjajah hampir pasti sulit diperbaiki tanpa rencana, konsep, dan tekad yang kuat serta matang.

Memerlukan upaya ekskavasi jati diri, karakter, dan budaya bangsa untuk menerangi bangsa ini yang memang sedang meredup. Terdapat tiga gatra utama yang linier dengan konsep tersebut. Indonesia yang lebih bersinar berawal dari tiga hal tersebut. Tiga konsep atau trilogi karya Ki Hajar Dewantara. Tiga konsep sakral yang tetap memerhatikan kearifan lokal dalam implementasinya. Konsep yang sangat aplikatif jika dikorelasikan dengan keadaan Indonesia saat ini. Indonesia saat ini yang besiap maju menyongsong kemakmuran bangsanya. Berada di garda depan adalah kumpulan penduduk negeri ini yang berusia produktif. Usia produktif yang dinilai oleh para ahli sebagai ‘bonus demografi’ Indonesia.

Mengapa trilogi?

Tiga gatra utama tersebut merupakan pengejahwantahan upaya penggalian jati diri, karakter, dan budaya bangsa. Terdapat tiga preferensi utama mengenai konsep tersebut. Pertama, konsep ing ngarsa sung tulada, di depan sebagai teladan. Optimisme bangsa ini dibangun oleh pemimpin inspiratif yang berada di garda depan gerakan perubahan. Pemimpin yang menjadi soko guru dalam gerakan pemberantasan korupsi, pelanggaran HAM, dan pelestarian budaya serta kearifan lokal. Pemimpin yang berada di depan selalu mampu membakar semangat kawan dalam gerakan perubahan.

Kedua, pemimpin yang merupakan kreator perubahan, mampu menjadi lokomotif penggerak gerakan perubahan. Ing madya mangun karsa, kreator perubahan berpotensi luar biasa sebagai lumbung ide, gagasan, dan prakarsa-prakarsa kreatif penggerak perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa ini. Pusat riset terpadu lintas disiplin ilmu berbasis pengabdian kepada masyarakat akan tercipta. Prakarsa yang di luar kotak yang berani menggebrak kerutinan konsep perubahan yang sangat birokratif. Sangat birokratifnya hingga untuk menuju Z harus melalui A terlebih dahulu.

Pada konsep ketiga, sang kreator perubahan mmapu memberikan komando akan kemanakah sinar perubahan negeri ini diarahkan. Tut wuri handayani dalam aplikasinya bagaikan mercusuar di tengah samudera keterpurukan yang luas. Ketiga hal tersebut saling terkait satu sama lain.

Optimisme bangsa dibangun oleh sang kreator perubahan negeri ini yaitu mahasiswa. Tiga konsep nirwujud tersebut menentukan daya saing negeri ini dengan bangsa lain. Dengan kata lain, potensi bangsa ini bukan lagi hanya permata hijau sepanjang garis khatulistiwanya saja. Potensi bangsa ini adalah bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Konsep angka penduduk usia produktif dengan segala kreativitasnya yang berfusi dengan konsep sakral Ki Hajar Dewantara. Hingga pada akhirnya, benarlah tesis mengenai kemakmuran suatu bangsa. Tesis yang berkata bahwa daya saing suatu bangsa tidaklah sama dengan kekayaan alamnya.

Maka, pada akhirnya biarkanlah cahayamu bersinar! Untuk menikmati pelangi, pertama kita harus menikmati dahulu hujan. Kemajuan dalam keselarasan Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan kemajuan bangsa dua, atau tiga dekade ke depan berawal dari upaya kontemplatif kita hari ini.

Oleh

Ferry Gunawan (@ferryg1)

Mahasiswa Diploma 3 Program Keahlian Perkebunan Kelapa Sawit

Program Diploma Institut Pertanian Bogor




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline