Simbol Perlawanan Melalui Fashion dalam Bingkai Kritik
Fashion adalah sesuatu yang harus hadapi setiap hari bahkan bagi orang yang tidak terlalu mempedulikan penampilan. Setiap pagi, kita harus memilih pakaian apa yang akan dikenakan karena pakaian juga bisa mengungkapkan perasaan kita hari itu. Satu hal yang pasti dalam dunia fashion adalah perubahan. Orang-orang terus-menerus dibombardir dengan ide mode baru dari sosial media, musik, hingga film. Pada era 90an, film sangat berdampak besar pada apa yang dikenakan orang. Merk kacamata Ray-Ban misalnya, berhasil menjual banyak kacamata hitam setelah film Men In Black tayang. Terkadang tren bersifat mendunia. Seperti di tahun 1950-an, dimana remaja berpakaian seperti Elvis Presley.
Musisi dan ikon budaya lainnya selalu memengaruhi apa yang kita kenakan, begitu pula tokoh politik dan keluarga kerajaan. Sosial media melaporkan apa yang dikenakan para First Lady, sementara dari keluarga kerajaan ada mendiang Lady Diana yang pakaiannya selalu menjadi berita harian. Bahkan orang-orang di tahun 1700-an meneliti majalah mode untuk melihat gaya terbaru. Wanita dan penjahit di luar pengadilan Prancis mengandalkan sketsa untuk melihat apa yang sedang terjadi. Raja Louis XIV Prancis yang terkenal mengatakan bahwa fashion adalah cermin. Louis sendiri terkenal dengan gayanya, yang cenderung ke arah tali dan beludru yang mewah.
Bukan hanya sebagai media untuk bergaya, fashion juga bisa digunakan sebagai media untuk mengkritik sesuatu. Tantangan besar yang dihadapi para aktivis dan kaum terpinggirkan adalah membuat diri mereka sendiri terlihat untuk menarik perhatian advokasi mereka. Misalnya, T-shirt bisa digunakan untuk media komunikasi atau kritikan yang bertentangan dengan ideologi resmi Partai Komunis China pada era 1990-an. Meskipun beberapa pesannya lucu, seperti "Tinggalkan aku sendiri, aku muak" -- yang bisa ditafsirkan sebagai ketidakpuasan dengan situasi negara saat itu, Namun pesannya tersampaikan sehingga ada pelarangan gaya busana seperti ini.
Dari dalam negeri sendiri ada Citayam Fashion Week. Kemunculan mereka menggunakan area publik dengan fashion yang begitu berbeda dengan mode di Jakarta menyebabkan mereka mendapatkan ketenaran dengan cepat. Mereka yang melakukan peragaan busana umumnya dari kota-kota penyangga Jakarta, bahkan, berasal dari keluarga menengah ke bawah, seakan menunjukkan melawan arus fenomena budaya konsumerisme dan pamer kemewahan pegiat medsos dan influencer. Menggunakan baju pinjaman sampai membeli dengan harga murah ini seakan membentuk kritik konsumsi fashion kaum muda kota yang terjebak memakai baju produk industri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H