Lihat ke Halaman Asli

Tri Risma Harini Mundur, Siapa yang di Untung kan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hujan yang sering turun di Surabaya belakangan ini sepertinya tidak mampu mendinginkan suhu politik di kota buaya. Suhu politik semakin memanas, sejak pelantikan Wakil Walikota Surabaya terpilih, Wisnu Sakti Buana (WSB) oleh Gubernur Propinsi Jawa Timur berdasarkan surat ketetapan dari Menteri Dalam Negeri. Pelantikan Wawali tersebut tidak dihadiri oleh Walikota Surabaya, Tri Risma Harini (TRH), dengan alasan kondisi kesehatan. Belakangan publik mulai tahu alasan sebenarnya adalah ketidak-setujuan TRH atas proses pemilihan yang berlangsung, apalagi dengan tidak meminta pendapat TRH dalam penentuan calon wawali.

Situasi makin tambah panas dengan munculnya isu dugaan pemalsuan tanda tangan Panitia Pemilihan Wakil Walikota, sehingga dianggap pelantikan tidak sah. Walau kemudian hal ini pun tidak membuat Mendagri membatalkan keputusan pelantikan wawali, karena setelah team Mendagri melakukan verifikasi tidak ditemukan cacat dalam proses pemilihan yang dimaksud.

Tiba tiba muncul isu TRH akan mengundurkan diri sebagai Walikota Surabaya. Isu yang awalnya dibantah oleh berbagai pihak, mulai ketua DPRD Surabaya, Sekkota sampai Mendagri. Namun belakangan TRH sendiri menegaskan di depan publik melalui sebuah acara di TV Swasta Nasional, bahwa betul keinginannya untuk mengundurkan diri.

Alasan pengunduran diri ini tidak dijelaskan secara gamblang. Publik dipaksa mereka-reka bahwa ada sesuatu persoalan yang maha besar atau tekanan yang maha besar, ataupun sebuah kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip yang di anut TRH, sehingga membuatnya memikirkan untuk mengundurkan diri dari jabatan Walikota Surabaya.

Sepertinya jangan kan hujan, tiba tiba salju turun -pun, nampaknya suhu Politik di Surabaya tidak akan segera mendingin. Panas nya suasana Politik di ruang ruang Dewan yang terhormat di DPRD Surabaya dan di ruang yang terhormat para birokrat di Balaikota sudah menjalar ke ruang ruang publik di kota Surabaya.

Melalui tulisan ini saya mengajak para pembaca khususnya warga Surabaya, mengkritisi kondisi Politik kota tercinta ini, agar keberhasilan yang sudah dicapai oleh kota ini, dengan segala prestasinya, segala yang sudah dibangun sejak bergulirnya Reformasi 1998 tidak mencair, leleh, sia-sia, akibat suatu peristiwa yang mestinya tidak terjadi, atau setidaknya ada suatu penyelesaian yang bisa diambil tanpa mengorbankan segala pencapaian yang sudah ada.

Melihat Kebelakang

Mungkin tidak banyak yang mengingat kondisi kota Surabaya, pada saat-saat awal reformasi, dengan segala persoalannya yang maha rumit. Kota yang jatuh pada titik terendah kepercayaan warga nya, dengan berbagai persoalan kota yang membelit, seperti birokrasi yang buruk, pejabat yang seenaknya bertugas, persoalan sampah dan kumuhnya Kota, banjir dan banyak lagi.

Bertambah parah dengan keributan Politik akibat menghilangnya (yang kemudian diketahui berobat ke Aaustralia) Walikota Surabaya masa itu, Sunarto Sumoprawiro (cak Narto) ditengah persoalan sampah dan TPA Benowo. Demo hampir tiap hari terjadi, situasi politik memanas, bahkan Bambang Dwi Hartono (BDH), wakil walikota berencana mundur karena tekanan politik yang besar, keributan dengan DPRD dan persoalan loyalitas aparat pemkot. Rakyat Surabaya masa itu memilih memberikan dukungan pada BDH untuk memimpin kota, dan itu dibuktikan dengan keputusan Paripurna DPRD Surabaya 15 january 2002, yang mencabut mandat Cak Narto sebagai Walikota.

Perjuangan rakyat Surabaya memberikan dukungan pada wakil walikota Surabaya, BDH, masa itu tiada henti, sehingga saat dilengsernya Cak Narto oleh DPRD, kegembiraan warga kota demikian terasa bahkan harian JAWA POS menurunkan headlines pada tanggal 16 Januari "Kemenangan Hati Nurani".

Jalan yang tidak mudah bagi BDH memimpin kota Surabaya, karena masih berhadapan dengan intrik intrik politik bahkan dari oknum di dalam PDI-P sendiri. Masa itu secara terbuka ketua DPRD Surabaya, Basuki (PDI-P) bersama kelompoknya, selalu menjegal kebijakan BDH sebagai pejabat walikota, bahkan menghalangi agar BDH tidak dapat dilantik menjadi walikota Surabaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline