Beberapa hari belakangan ini, menjelang akhir tahun, tiba tiba saja mencuat keributan soal Subsidi BBM. Keributan yang dimunculkan oleh Calon Presiden Terpilih Joko Widodo dan pasangannya Jusuf Kalla.
Pasangan Presiden terpilih ini meminta pemerintahan yang sekarang masih menjabat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk menaikan harga BBM Subsidi. Alasan yang digunakan adalah besarnya subsidi yang harus ditanggung negara dan kemungkinan habisnya anggaran subsidi BBM saat nanti pemerintahan Jokowi dilantik pada 20 Oktober.
Presiden terpilih berargumentasi, jika BBM Subsidi tidak dinaikan maka tidak akan tersedia uang untuk membeli BBM subsidi yang diperkirakan kuota nya (46 juta kilo liter tahun 2014) habis pada awal Nopember. Jokowi meminta BBM Subsidi harus dinaikan oleh SBY agar tersedia cukup uang untuk kembali membeli BBM.
Sama halnya dengan BBM Subsidi, pemerintahan baru juga tampaknya akan ancang ancang menghapus Subsidi Listrik atau menaikan Tarif Dasar Listrik. Alasan yang dipakai juga tidak akan jauh dari penghematan anggaran negara, ditambah alasan tidak tepatnya sasaran subsidi.
Pada kesempatan ini saya ingin coba memperlihatkan bahwa Pemerintah tidaklah harus selalu terbelenggu dan hanya punya pilihan pada instrumen NAIK-TURUN kan subsidi untuk menyelesaikan persoalan kesulitan keuangan, utamanya yang berkaitan energi. Pemerintah harus mampu mencari cara penyelesaian lain tanpa perlu mengorbankan rakyat banyak, yang pasti akan kesulitan jika subsidi dikurangi apalagi dicabut.
Pada bagian tulisan ini, saya akan mencoba memaparkan solusi bagi persoalan kelistrikan Indonesia dengan melibatkan masyarakat untuk berperan serta.
Energi Baru Terbarukan
Persoalan di seputar Subsidi Listrik adalah besarnya subsidi yang harus ditangggung negara yang katanya sudah mencapai Rp95,3 Trilyun, hampir mendekati Rp100 Trilyun. Persoalan lainnya adalah PLN sebagai perusahaan penyedia listrik juga mengalami kesulitan dalam menyediakan listrik untuk kebutuhan dalam negeri yang terus mengalami kenaikan setiap tahun antara 9-10%. Dibutuhkan setidaknya pembangkit listrik 5.000 Mega Watt (MW) setiap tahun untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan kebutuhan energi 7-8% pertahun (data Kementeraian ESDM 2013). Investasi yang tidak sedikit dibutuhkan untuk membangun pembangkit-pembangkit tersebut.
Persoalan lain dalam hal kelistrikan ini adalah banyaknya pembangkit PLN yang menggunakan energi bahan bakar minyak, seperti Diesel, sehingga subsidi listrik makin membesar. Padahal sudah semestinya kita beralih pada Energi Baru Terbarukan (EBT)
Sebenarnya sudah lama di negara kita ini menerapkan kebijakan yang mengarah pada penggunanaan EBT secara maksimal. Diantara bukti keseriusan pemerintah mengembangkan EBT adalah dengan adanya DIRJEN yang khusus mengurus soal ini di Kementerian ESDM, yaitu Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi.
Sayang, semangat pemerintah ini ibarat nafsu besar tenaga kurang. Banyak keinginan tapi lemah dalam implemenstasi. Banyak pembahasan dari seminar ke seminar tapi tidak cukup kuat niat menerapkan dalam praktek penggunaan energi.