Saya masih terbayang pemandangan yang memanjakan mata itu terbentang di sepanjang jalan Puncak – Bogor. Pepohonan teh yang perdu, dan batang – batang pinus yang berdiri tegak seperti pagar. Juga pemandangan yang diperlihatkan penjual – penjual buah sepanjang tepi jalan.
Beraneka buah terpajang rapi dengan berbagai macam warna yang menggoda selera. Ada buah mangga, jeruk, jambu, dan lain – lain tersusun bervariasi. Mata sayapun tertuju pada pada buah mangga yang berwarna keunguan. Wah ..sepertinya sangat enak jika dimakan. Apalagi dipadu dengan perjalanan yang melelahkan. Pastinya sangat nikmat.
Tetapi ditengah keasyikan menghayal, tiba – tiba saya teringat pesan beberapa teman – teman yang hampir sama.
“Hei…jika kamu melewati perjalanan dari Puncak dan hendak membeli buah – buahan, kamu mesti ekstra hati – hati. Karena kebanyakan buah – buahan yang dipajang dengan warna yang mengggoda, kebanyakan menipu isi dalamnya. Ada yang matangnya dipaksa, ada yang rasanya hambar atau bahkan ada yang berulat dalamnya”. Pesan ini kemudian mengurungkan niat saya untuk membelinya. Ada benarnya juga pikirku. Kalau begitu aku akan memberikan beberapa pertanyaan kepada si penjual, agar saya bisa menentukan pilihan, mana buah yang baik.
Perjalananpun berlanjut. Lewat beberapa kilo dari tempat penjualan buah – buahan, saya kembali disuguhi pemandangan yang lebih menawan. Kali ini bukan buah – buahan. Tetapi gambar- gambar yang aduhai. Ada gambar perempuan berjilbab, ada yang tidak berjilbab, disertai mimik yang mempesona. Ada yang sedang mengumbar senyum, ada yang sedikit serius ada juga dengan mimik yang sangat serius. Semuanya memberikan semacam pesan yang tersirat.
“Pilihlah aku! maka aku akan menjadi “istri” terbaikmu. Setia, tidak matre, aku akan berdandan setiap hari dan menjamu kamu sewaktu pulang kerja. Setidaknya untuk mengendorkan urat. Aku akan menjadi teman seperjalananmu ke pasar untuk menawarkan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi!”. Wah…godaan yang menarik.
Disebelah gambar perempuan – perempuan cantik, terpampang pula gambar pria – pria ganteng, perkasa. Ada yang berpeci, ada yang berkumis, ada yang mengumbar senyum, ada pula menampilkan keperkasaan. Tidak berbeda dengan perempuan, gambar pria – pria inipun mengisyaratkan pesan :
“Pilihlah aku! maka aku akan menjadi “suami” terideal. Aku tidak akan selingkuh, tidak akan menelpon artis dangdut untuk sekedar menemani aku berkaraoke. Aku akan menjagamu setiap hari. Bahkan akan menjadi body guard untuk membentengi dirimu dari pria – pria perkasa dari negeri jiran yang bermata coklat atau biru. Aku pribumi. Aku akan memberikan kamu harga termurah jika kamu hendak membeli beras. Aku akan menawarkan kamu harga terbaik jika kamu sekedar istrihat dan mencicipi dendeng sapi. Tentu kamu tidak keberatan, bukan?”. Wah …lagi –lagi aku tergoda. Dihadapkan dengan beberapa pilihan menarik.
Baiklah….aku memilih untuk bertanya kepada yang menawarkan calon – calon ini, agar bisa memilih teman spesialku. Setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Lagi – lagi aku kesulitan. Ketika aku bertanya kepada si penjual buah – buahan, jawabannya adalah “Semua buah yang kami jual dalam keadaan baik dan sehat untuk dimakan. Kami tidak mungkin menjual buah yang seperti anda pikirkan, “jangan – jangan….”. Silakan beli dan dibawa pulang untuk sekedar oleh – oleh. Jika sesampai di rumah, anda tidak mendapatkan rasa seperti yang anda harapkan, maka tidak usah datang kembali dan membeli. Toh..kamu tidak rugi sekali!.
Jawaban si penjual buah ternyata mirip dengan jawaban yang menawarakan gambar calon – calon di atas. Baik pria ataupun wanita.
Tetapi untuk pilihan membeli buah atau tidak adalah pilihan yang gampang. Toh, saya bisa tidak makan buah selama lima tahun ke depan kok! Tapi untuk memilih calon, mau atau tidak mau, harus pilih. Saya harus mempunyai wakil untuk lima tahun ke depan! Ini tentu bukan pilihan yang mudah.
“Calon yang kami tawarkan melalui gambar adalah persis sama dengan muka aslinya. Bukan wajah close up. Silahkan anda pilih sesuai selera anda. Jika ternyata perilakunya tidak sesuai dengan yang anda harapkan, maka tidak usah pilih kembali setelah lima tahun. Gampangkan?
Kembali saya kebingungan. Wah…jika saya keliru menentukan pilihan ini, maka saya pasti meradang kesakitan selama lima tahun ke depan. Saya harus mencari celah, memberikan pertanyaan kepada yang menawarkan calon secara “lebih” tidak seperti pertanyaan saya ke penjual buah. Hal ini sangat mungkin untuk membantu saya agar bisa menentukan pilihan lebih bijak.
Pertanyaan yang “lebih” ini seperti; Apa yang membedakan calon yang anda tawarkan dengan mereka yang ada di Senayan saat ini? Atau bagaimana calon anda memberdayakan ekonomi kerakyatan yang berpihak pada kaum kecil? Bagaimana anda memperlakukan keadilan hukum bagi rakyat lemah?
Atau yang paling menarik adalah pertanyaan : Bersediakah calon anda memberikan wewenang penuh kepada Presiden terpilih nanti, dalam membuat undang – undang untuk memberantas korupsi dan praktik kecurangan perusahaan yang membuat harga – harga pokok melambung, setidaknya untuk sepuluh bulan? Seperti Majelis Nasional Venezuela yang memberikan wewenang penuh kepada Presiden Nikolas Maduro, tanpa harus berkonsultasi dengan Kongres dalam membuat undang – undang pemberantasan korupsi dan praktek kecurangan perusahaan.
Yakinkan saya bahwa anda kesulitan menjawab!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H