Lihat ke Halaman Asli

Ferry Ardiyanto Kurniawan

Menulis itu bebas

OTT Ketum PPP, Tupai yang Pandai Tetap akan Jatuh

Diperbarui: 19 Maret 2019   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Antara

Pada Jumat 15/3/2019 jagad politik Indonesia dikejutkan dengan OTT KPK yang melibatkan ketua umum partai PPP beserta reng-rengannya, mereka tertangkap tangan oleh KPK di kantor Kemenag Jawa Timur. Di berbagai portal media disebutkan ketum partai yang bernama Romahurmuziy (Romi) diduga melakukan praktik jual jabatan di Kemenag Surabaya. Romi ditangkap bersama 2 orang rekannya yang memberi suap untuk jabatan di Kemenag Jawa Timur.

Kasus ini tentu menggemparkan dinamika politik tanah air, terutama bagi kubu petahana. Namun berbagai pembelaan selalu hadir, kubu 01 mengatakan bahwa OTT Romi adalah bukti bahwa hukum di era Jokowi tidak pandang bulu dan tidak ada intervensi, sehingga banyak yang mengklaim bahwa ini merupakan prestasi pemerintahan Jokowi. Kubu 02 tak kalah memberikan serangan, koalisi Prabowo-Sandi mengatakan bahwa elit di jajaran 01 adalah koruptor, OTT tersebut membuktikan anggapan 01 bersih dari korupsi adalah salah.

Namun terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, korupsi adalah musuh bangsa ini, dan siapapun pemimpinnya harus komit pada pemberantasan korupsi. Kembali pada kasus suap jual beli jabatan di Kemenag, sungguh ironis bagi kementerian yang berlabel agama di dalamnya menjadi wahana transaksi bawah meja para politikus. Walaupun Romi sempat membela bahwa dirinya dijebak, tetap saja publik sudah meyakini kasus ini.

Lantas kenapa mesti Kemenag? Wajar jika kita melihat geopolitik di jajaran kabinet pemerintah sekarang. Menteri agama adalah kader partai PPP, dan yang terkena kasus suap adalah ketua umum PPP itu sendiri. Jadi Romi merasa Kemenag di bawah kendali dirinya karena menteri agama adalah kader PPP. Memang sangat sederhana analisis tersebut, tapi jika kita telusuri lebih jauh, tidak menutup kemungkinan kedekatan menjadi faktor utama lancarnya transaksi bawah meja di Kemenag.

Romi menjadi salah satu tokoh penting dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf, dia selalu terlihat di media sosial, kadang mengungkapkan pernyataan yang kontroversial, kadang juga menjadi pelobi tokoh-tokoh nasional. Sehingga harga yang dibayar atas penangkapan Romi ini sangat mahal, walaupun ketua timses 01 sudah mengatakan kasus yang menimpa ketum parpol PPP itu tidak ada kaitannya dengan pilpres. Publik sudah dapat menilai tingkah laku para elit politik, serumit apapun mereka berkelit, kelak akan game over juga permainannya.

Saat ini kasus-kasus yang menimpa politikus menjadi momentum bagi kedua kubu untuk saling menyerang dan menggoreng isu. Tapi entah kenapa seakan semuanya serba impas, belum lama seorang wasekjen partai Demokrat yang berinisial AA digrebeg karna diduga memakai barang haram. Koalisi 02 tentu secara tidak langsung menanggung dampaknya karna Demokrat berada di dalam koalisi. Isu ini digoreng habis-habisan oleh kubu 01, sampai-sampai Karni Ilyas mengangkatnya ke ILC. Setelah itu, terjadilah kasus yang sekarang ramai, yakni OTT KPK yang menimpa Romi ketum partai PPP. Semua yang terjadi terkesan dibagi rata, baik 01 maupun 02 pasti kebagian. 

Tapi terlepas dari analisis tersebut, kita mesti belajar dari kasus Romi pada khususnya dan kasus korupsi lain pada umumnya. Bahwa kekuasaan dapat dikatakan kekuasaan apabila dipakai untuk kepentingan umum. Memang kekuasaan memberikan kita akses yang lebih untuk berbuat segala hal. Tapi "sepandai-pandai tupai melompat, akan jatuh juga". Peribahasa itu sangat cocok untuk kasus korupsi yang terjadi di lingkaran kekuasaan. Perangi korupsi! []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline