Lihat ke Halaman Asli

Haruskah Sekolah Umum Menerima Anak-anak Penyandang Disabilitas?

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menyambut Hari Internasional Penyandang Cacat (Hipenca) Tahun 2011 ini saya ingin mengarahkan perhatian kita kepada pendidikan inklusif yang sudah banyak didengungkan tetapi masih sangat sedikit dipraktikkan. Terlihat jelas bahwa mereka yang memiliki uang mendapat kemudahan ini sementara pemerintah kita seolah kehilangan akal menghadapi sekolah-sekolah yang menolak penyandang disabilitas dengan alasan klise: tidak memiliki fasilitas yang menunjang.

Banyak orang tua memperjuangkan pendidikan terbaik bagi anak mereka yang telah terlanjur mendapat beberapa bentuk label disabilitas. Despite a world-wide trend toward the inclusion of children with recommend segregated education as being in the child's best interests, often putting considerable pressure onto parents to choose the segregated option.Meskipun tren seluruh dunia menganjurkan inklusi anak berkebutuhan khusus ke dalam kelas reguler, masih banyak psikolog, terapis dan guru yang menyarankan agar mereka dididik secara terpisah.Masih banyak sekolah yang melihat seorang anak yang mendapat label demikian sebagai suatu beban bagi sekolah.

Hal pertama yang harus dipertimbangkan tentang pendidikan inklusif adalah hal ini merupakan sebuah masalah moral yang fundamental. Sebuah pertanyaan tentang siapa yang kita lihat sebagai milik dan siapa yang tidak. Ini pertanyaan tentang pemisahan siswa yang dipaksakan melawan keinginan orang tua mereka dan apakah kita ingin melibatkan diri. Pertanyaan tentang biaya dan manfaat dari inklusif sesungguhnya merupakan pertanyaan berikutnya.

Berikut ini adalah beberapa alasan mendatas kenapa sekolah umum patut menerima siswa penyandang disabilitas.

1. It is the right thing to do Ini adalah hal yang benar

Pengalaman umum anak-anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka adalah mendapat penolakan. This may come from family, friends, neighbours and acquaintances or just from the uncomfortable stares of total strangers. Penolakan ini bisa berasal dari keluarga, teman, tetangga dan kenalan atau berupa tatapan tidak menyenangkan dari orang lain. The child with disability may have had no experiences of shared play in the sand pit, sleepovers of going over to a friend's place to play. Anak yang memiliki disabilitas mungkin tidak memiliki pengalaman bermain bersama temannya, menginap atau pergi ke tempat teman untuk bermain. Similarly, families may be isolated from their own friends and support networks by this feeling of rejection. Demikian pula, keluarga mereka mungkin terisolasi dari teman-teman mereka sendiri karena perasaan ditolak ini. School is the most powerful social development institution in our society after the family.Sekolah merupakan lembaga pengembangan sosial paling kuat dalam masyarakat kita setelah keluarga - – therefore we have an extremely powerful tool to reverse the rejection of society and bring the child to a state of belonging with his or her peers.oleh karena itu kita memiliki perangkat yang sangat kuat untuk membalikkan penolakan dari masyarakat tersebut dan membawa anak ke dalam suasana saling menerima diantara teman-temannya. Inclusion has an inherent 'rightness', whereas segregation strengthens the rejection from shared experiences with peers over the developmental period which goes against all of the basic religious and secular values of our society. Inklusi memiliki 'kebenaran' yang melekat, sedangkan pemisahan (Sekolah Luar Biasa) memperkuat penolakan dari teman sebaya selama periode perkembangan yang bertentangan semua nilai agama dan sekuler masyarakat kita.

2. It's good for the school and essential for society (transforming values) Baik untuk sekolah dan penting untuk masyarakat

Banyak dari kita khawatir tentang masyarakat kita. We seem to be driven by four very powerful values: Materialism, Individualism, Utilitarianism – valuing things and people by their usefulness and productivity, Hedonism – personal comfort and pursuit of pleasure and excitement.Kita disetir oleh empat nilai yang sangat kuat: Materialisme, Individualisme, Utilitarianisme - menghargai barang dan orang karena kegunaan dan produktivitasnya, Hedonisme – kenyamanan dan kesenangan pribadi.

Jika nilai-nilai ini kuat dalam budaya kita, maka kita patut bertanya apakah nilai-nilai tersebut menambah atau mengurangi'perekat' yang mengikat kita bersama sebagai sebuah komunitas. Most would agree that the values above weaken 'community'. Sebagian besar akan setuju bahwa nilai-nilai di atas melemahkan 'masyarakat'. Take two other lists of values: Perhatikan daftar pasangan kata di bawahini:

Kasih                         Penolakan

PerhatianKetidakpedulian

Kerjasama               Kompetisi

Persahabatan           Permusuhan

Humanisme              Materialisme

They are of course exactly the values that a child with disability WILL bring out in other children with proper adult guidance and modeling. Nilai-nilai inilah yang akan dimunculkan oleh anak berkebutuhan khusus (disabilitas) dengan bantuan dan contoh orang dewasa. Diajarkan secara sadar atau tidak sadara tergantung bagaimana sikap kita. Maksudnya adalah anak berkebutuhan khusus dapat menjadi aset bagi sekolah dan menjadi penting bagi pembangunan nilai-nilai masyarakat yang terpadu bagi generasi berikut. Anak berkebutuhan khusus menjadi sumber daya yang sangat baik yang dapat mentransformasi nilai-nilai sekolah dan membantu pembangunan suatu dunia yang sangat berbeda bagi generasi berikut, jika kita mengambil kesempatan ini untuk menerjemahkannya secara baik. Kita sepatutnya bersyukur terhadap potensi yang mereka bawa untuk membantu membangun kekuatan dalam sekolah dan masyarakat kita. Di pihak lain, kita harus bertanya nilai apa yang kita anut jika kita menolak anak berkebutuhan khusus.

3. It's good for the child with disability Baik bagi anak berkebutuhan khusus

Menurut Robert Jackson dkk. (2004) yang telah 40 tahun melakukan penelitian komparatif tentang dampak pendidikan terpisah (SLB) versus pendidikan inklusif. In our combined studies, we have not found the research that would validate segregation over inclusion.MeMMereka belum menemukan satu pun penelitian yang mengunggulkan pendidikan terpisah atas pendidikan inklusif. In fact, in a recent review of the literature, NOT EVEN ONE research article could be found that compared inclusion with segregation and favored segregation.Bahkan, dalam sebuah tinjauan terbaru literatur, BAHKAN TIDAK SATU PUN artikel penelitian yang memilih pendidikan terpisah. The first author wrote to Professors and Heads of Education at all Australian Universities stating this finding and asked if they knew of any contrary finding.

Berdasarkan studi-studi yang melibatkan ribuan anak di beberapa negara, penelitan mereka menyimpulkan bahwa:

  • Semakin mereka diikutsertakan dalam kelas inklusif, semakin baik mereka berprestasi, secara akademis dan sosial. That is, pul-out programs or part-time inclusion models are detrimental in comparison to full inclusion. Artinya, program pull-out atau model inklusi paruh waktu merugikan dibandingkan dengan inklusi secara penuh. The longer the child is in segregated education, the larger the gap with the child who is included. Semakin lama anak dalam pendidikan terpisah, semakin besar kesenjangan dengan anak yang diinklusi.
  • Temuan ini juga berlaku untuk anak-anak dengan tingkat disabilitas yang parah dan berat. They also do better academically and socially in inclusive settings, and do better the more that they are included. Mereka juga lebih baik secara akademis dan sosial dalam setting inklusif, dan berprestasi lebih baik lebih bila mereka diinklusi.
  • Siswa tunagrahita sekolah khusus (SLB) cenderung memiliki lebih sedikit teman dari pada siswa tunagrahita di sekolah umum.

Perlu dicatat bahwa penelitian di atas TIDAK mengatakan bahwa anak-anak gagal untuk belajar dalam seting terpisah. Numerous studies show that children do develop skills in such settings.Fokus dari penelitian ini adalah bahwa mereka belajar jauh lebih baik apabila mereka dimasukkan ke dalam kelas reguler, terlepas dari tingkat disabilitas mereka.

4. It's good for other children Baik bagi anak-anak lain

Kita telah melihat bagaimana inklusi anak-anak dengan label disabilitas memungkinkan kita untuk menunjukkan dan mengajarkan nilai-nilai penting untuk generasi mendatang. This is also demonstrated in research findings that have been remarkably consistent over decades and across many countries. Hal ini juga tampak dalam hasil penelitian yang telah sangat konsisten selama beberapa dekade di banyak negara. It has been found that for children who share inclusive schools with children with disability labels: Telah ditemukan bahwa untuk anak-anak yang satu sekolah dengan anak-anak berkebutuhan khusus:

  • Mereka memiliki sikap yang lebih positif terhadap anak-anak berkebutuhan khusus.
  • Mereka belajar menyesuaikan bahasa mereka dengan kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus.
  • Prestasi akademik mereka tidak menurun.
  • Semakin banyak berteman dengan anak-anak berkebutuhan khusus, semakin baik hasil, misalnya sikap toleransi terhadap orang lain dan lebih menghargai hubungan pertemanan teman sebaya.



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline