Lihat ke Halaman Asli

Kisah Hidup Tak Terlupakan (8)

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Digigit Ular

Malam basah dan cukup dingin. Menang waktu itu baru saja hujan cukup deras dan diakhiri dengan gerimis yang masih cukup deras. Waktu itu, kami baru selesai makan malam, kira-kira jam 7 malam. Setelah makan, ayahku menyuruh aku untuk memanggil satu-satunya pegawai PLN bawahan ayahku ke kedai di dekat rumah. Maklumlah, hp pada waktu itu belum ada, jadi hubungan rada susah.

carolinekettlewell.blogs.com

Aku pake payung waktu itu, warna merah yang sudah pudar dan besar. Halaman rumah kami cukup memang luas, ada rumputnya dan dibatasi pagar, jadi jarak rumah ke jalan desa di depan rumah agak jauh.

Aku berangkat, bejalan agak lambat, karena genangan air di jalan cukup banyak. Sebenarnya jarak rumah ke kedai itu cukup dekat, hanya berjarak 4 rumah di seberang, tapi jadi agak jauh, karena harus berkeliling melewati gerbang, melewati halaman tumah.

Tapi bukan itu sebenarnya yang paling kutakutkan jalan malam-malam ke kedai itu. Tapi rumah yang tepat berada di samping rumahku. Rumahnya cukup angker, penuh tanaman bunga lebat, dan kata orang janda penghuni rumah itu punya ilmu hitam, jadi banyak orang takut. Sebenarnya, aku tidak terlalu takut, karena salain aku tidak percaya hal-hal yang demikian, aku pernah masuk ke dalam dan tidak menemukan hal-hal yang aneh.

Sampai di kedai, aku menemukan orang ku cari. Aku bilang kalau ayahku menunggunya, dia bilang akan segera menyusul, tunggu sampai tuaknya (sejenis arak orang Batak) habis, jadi aku pulang duluan.

Aku berjalan melewati bagian depan rumahku, di mana ada pohon jambu biji kesayanganku. Suasanya waktu itu remang-ramang, karena lampu jalan di sudut sana cahanyanya sudah cukup redup. Aku berlajan santai saja, tiba-tiba ada yang nenempel di kakiku.

Waktu itu aku belum sadar, aku menyangka kalau itu adalah ranting yang menempel di kakiku, jadi aku menyeretnya sambil melangkah, entar juga lepas sendiri. Aku juga ga bisa lihat langsung karena cukup gelap.

Seperti inilah kira-kira bentuknya waktu itu setelah kukibaskan. photo-lucu.blogspot.com

Aku berjalan sampai 5 langkah, ranting itu tidak lepas juga. Akhirnya dengan kesal, aku mengibaskan kakiku ke arah depan. Cengkramannya lepas, dan betapa terkejutnya aku kalau ternyata ranting itu adalah ular yang sekarang sudah bertengger ala ular kobra di depanku, melingkar dan kepalanya berdiri, dan siap menyerang lagi.

Saking takutnya, aku lari sekencang-kencangnya, sambil bertariak ular. Aku sampai di rumah, panik, aku ga bisa nangis, tapi tersedu-sedu. Ayahku bertanya kenapa, ku bilang digigit ular. Segera ayahku memeriksa kaki kananku, dan memang ada bekas gigitan berdarah.

Untung, bawahan ayahku segera datang dan tahu apa yang terjadi. Dia adalah anak asli daerah itu, jadi dia tahu seorang pawang ular hebat. Ayahku menyalakan mobil, kami langsung berangkat. Ibuku ingin ikut, tapi ga jadi karena jalan kesitu ga terlalu bagus.

Jarak rumahku ke tempat pawing itu ada sekitar 15 menit, cukup jauh juga. Sepajang perjalanan aku, hanya berdoa agar Tuhan menjaga keluargaku seandainya aku tidak berhasil. Kami lahitnya sampai juga ke tempat tujuan.

Pertama kami bertemu dulu dengan anak si pawing dan menjelaskan beberapa pantangan. Kami dibawa masuk ke rumah si pawang. Sebanarnya, sampai saat ini, aku tidak tahu bagaimana rupa di pawang ini, karena cpada waktu itu, dia hanya berada di kamarnya.

Dia bertanya tujuan kami, karena digigit ular. Dibagian mana, kaki. Disebelah apa, kanan. Dia langsung bilang kalau akau sudah sembuh, dan kalau dicari sekarang, ular yang tadi mengigit aku sudah mati.

Waw, luar biasa, aku memang tidak merasakan apa-apa, sakit juga tidak, mungkin karena cemas ya. Tapi si pawang bahkan tidak melihatku sama sekali, dia hanya bicara dari kamarnya, sedang kami di ruang tamu.

Kami akhirnya pulang. Ibuku sudah menunggu dengan sangat cemas. Ibuku jadi merasa sangat jengkel katika kami datang dengan santainyaseolah tidak terjadi apa-apa, padahal ibuku cerita selama kami pergi, tak habis-habisnya dia berdoa sampai nangis, berlutut, demi kesembuhanku. Aku lebih mempercayai ibuku tentunya, dengan doanya.

Salah satu pengalaman menakjubkan buatku, berdampingan dengan kerasnya alam, dinginnya dunia mistis dan hangatnya kaluarga. Aku masih ingat doaku, doaku sebelum aku mati waktu itu. Tuhan berkati ayah dan ibuku… jangan lepaskan kasihMu dari mereka….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline