[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Rabbits on the Run"][/caption] Saat mendengar nama Vanessa Carlton, satu hal yang terpikir pertama kali dalam pikiran adalah hitsnya A thousand Miles yang terkenal tahun 2002 silam. Tidak dipungkiri lagi, A Thousand Miles merupakan sebuah lagu pop evergreen yang mampu membuat penggemar musik pop jatuh cinta seketika setelah mendengarkannya. Album Be Not Nobody dan lagu A Thousand Miles pun dinominasikan sebagai album of the year dan song of the year dalam penghargaan Grammy di tahun 2003. sebuah pencapaian yang luar biasa bagi artis pendatang baru seperti Vanessa Carlton. Namun sepertinya, A Thousand Miles juga menjadi ancaman tersendiri bagi Vanessa Carlton. Bagaimana tidak, para penggemar musik pop terlalu dininabobokan dengan kejayaan lagu A Thousand Miles dan melupakan karya-karya yang lain. Meski telah merilis 3 album setelah album pertama, namun tetap saja nama Vanessa Carlton hanya diingat dengan lagu A Thousand Miles. Padahal lagu-lagu di album yang lain juga tidak kalah hebat dengan lagu A Thousand Miles dari album pertama. Album kedua, Harmonium, dirilis dua tahun setelah peluncuran album pertama. Dibantu oleh sang kekasih, Stephan Jenkis, album kedua terdengar layaknya Third Eye Blind yang terdominasi oleh instrumen piano. Meski secara finansial, album tersebut gagal di pasaran, namun secara musikalitas album Harmonium terdengar lebih dewasa dan berbobot. Album ketiga Heroes & Thieves (2007) pun tidak kalah bagus daripada album sebelumnya. Walapun terdengar jauh lebih indie dari dua album terdahulu, namun tetap saja album tersebut tidak kehilangan keindahan dan pesonanya. Tahun 2011 ini, sekali lagi Vanessa merilis sebuah album dengan judul Rabbits on the Run, sebuah album yang mampu menangkap lebih banyak keindahan dalam lagu-lagunya. Meski album keempat ini tidak mampu mengangkat nama Vanessa Carlton kembali, namun sepertinya dia tidak peduli dengan hal tersebut. Nyatanya, album keempat ini lebih berkualitas dibanding dengan album pop pertamanya yang terkenal di pasaran. Dalam album ini Vanessa mencoba menciptakan sebuah lagu yang lebih sederhana dan berbeda. Dari cover albumnya saja (berupa illustrasi seni dengan warna hitam putih, dan bukan foto sang penyanyi), sudah bisa ditebak bahwa album keempat ini memang menawarkan sesuatu yang baru. Sepuluh lagu di album Rabbits on the Run terdengar lebih kalem, simple, serta minimalis, dibandingkan dengan 3 album terdahulu. Jangan mengharapkan lagu ears-friendly teen pop layaknya A Thousand Miles, karena album ini tidak lagi menyediakan lagu-lagu pop seperti itu. Sebagai gantinya, Vanessa menulis lagu-lagu yang terdengar lebih santai, sederhana, dan bahkan aneh. Mungkin bagi pendengar yang tidak terlalu mengikuti musik Vanessa Carlton akan mengatakan bahwa album ini membosankan, namun bagi mereka yang selalu mengikuti karya-karyanya akan mengatakan bahwa inilah album paling unik dan emosional yang pernah ia ciptakan. Single pertama Carousel yang terlalu minimalis untuk menjadi single pertama pun memberikan nuansa yang berbeda dari single-single pertama di album-album sebelumnya. Dengan melodi yang mudah diikuti, sedikit keceriaan, serta lirik yang optimis, menjadikan lagu ini sebagai representasi dari albumRabbits on the Run itu sendiri. Dear California, lagu keenam di album ini juga memberikan nuansa yang jauh berbeda dengan album-album sebelumnya. Didominasi oleh guitar elektrik yang kasar, dan sedikit permainan piano, lagu ini menjadi andalan tersendiri di album ini. Lagu kesembilan, The Marching Line, merupakan lagu paling emosional di album Rabbits on the Run. Dengan permainan piano yang sederhana, suara vokal yang emosional, serta sedikit alat musik yang mengiringi menjadikan lagu ini mampu mengaduk-aduk emosi pendengarnya. Selain itu, lagu seperti Hear the Bell dan In the Endmenyajikan nuansa suram yang mungkin hampir mirip dengan lagu Twillight di album pertama. Disertai dengan suara vokal yang menggema dan lirik layaknya dongeng, menjadikan dua lagu tersebut seperti sisi gelap dongeng anak-anak. Hal inilah yang akhirnya menjadikan album ini unik dan lain dari album-album sebelumnya. Meski jauh berbeda dari 3 album pertama, namun bukan berarti album ini lebih buruk. Sebaliknya, album ini jauh lebih emosional dan cerdas dibandingkan album-album terdahulu. Dengan pemilihan kata dan metafora yang unik di setiap lirikya, disertai dengan permainan piano yang 'mudah' dipahami, menjadikan album ini sebagai penawar kerinduan bagi pecinta musik-musik pop berkualitas di era krisis musik pop seperti sekarang ini. Jadi memang tidaklah terlalu berlebihan, jika saya pun akhirnya menyebut album ini sebagai kesempurnaan dalam kesederhanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H