Tuhan begitu jeli. Bukan begitu, Sayang?
Dari miliaran manusia di bawah matahari, Ia mempertemukan kita. Benar, aku tak pernah merasa 'menemukan'-mu. Kau juga tentu tak merasa menemukanku. Kita tidak pernah saling hilang, jadi mustahil kita saling menemukan. Lalu, kita setuju bahwa kita dipertemukan. Terpujilah Dia.
Aku tidak sedang terburu-buru saat memintamu menikah denganku. Aku merasa siap, dan ternyata kau juga. Lalu kita menikah, mengucapkan janji sehidup semati, dalam untung dan malang, susah dan senang.
Aku benar-benar menikmati peranku sebagai suamimu. Setidaknya saat itu.
Jangan salah paham. Hingga kini aku bersyukur hidup berdua denganmu.
Namun rasanya, seolah ada yang hilang di antara kita.
Setelah lima tahun, kau dan aku seolah menjalani segalanya dengan teramat hati-hati dan serius. Aku sibuk dengan pekerjaanku, kau sibuk dengan peranmu. Kita saling menyapa seadanya, saling menelepon saat-saat genting, dan percakapan-percakapan yang kita lakukan seolah terlalu direncanakan. Tidak sesantai dulu.
Kau tahu?
Aku RINDU kita yang dulu. Yang saling menggoda atau saling cari perhatian. Dulu, kau akan iseng meneleponku. Saat kuangkat, kau akan teriak sekuat tenaga hingga rasanya lobang telingaku akan terbakar. Tapi aku menyukainya. Siang hari, kau akan mengirimiku pesan singkat. "Jangan lupa makan. Nanti mati!" Terdengar seram, tapi aku menyukainya. Lalu saat kita bertemu di malam hari, aku akan mengaku bahwa sebenarnya aku terlalu tampan untuk wanita pesek sepertimu dan berharap anak-anak kita akan mirip denganku. Kau akan terbahak sekuat tenaga---kau tak merasa perlu bersikap anggun---dan berkata, "Well, hanya wanita pesek ini yang mau menerimamu jadi pacarnya."
Sayang, tulisan ini sudah cukup panjang.
Intinya, aku menyukai kita yang lima tahun lalu. Yang saling melempar candaan, saling menggoda, saling mencium dengan membara. Aku merindukan kita yang tidak perlu memilih kata-kata untuk diucapkan ke satu sama lain. Aku merindukan kita yang hobi berpegangan tangan, saling mencubit pinggang, dan saling menertawakan.
Bisakah kita melakukannya lagi?
Oh ya. Aku selalu mencintaimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H