Lihat ke Halaman Asli

Fernandes Nato

Guru | Cricketer | Bererod Gratia

Desa dan Polarisasi Politik (1)

Diperbarui: 19 September 2022   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jelang pelaksanaan PilKades serentak 29 September 2022 mendatang, ada berbagai gejala sosial dimedsos yang saya amati. Ada banyak jargon politik yang ditampilkan dengan mengidolakan ataupun menjagokan kandidat tertentu. Hanya kandidat yang didukung dan dijagokan pantas untuk mendapat sanjungan setinggi angkasa. Selebihnya hanyalah partisipan pilkades dan diserankan unutk diabaikan. Tidak jarang antara pendukung kandidat yang satu dan kandidat lain saling berpantun bahkan saling mengancam bila merasa tersinggung oleh ucapan tertentu.

Disisi lain pencitraan yang dilakukan oleh kandidat tidak kalah serunya. Diri sang kandidat di-makeover atau dicitrakan sebagai pribadi yang elok, berprestasi, kudus, cerdas, dan mampu membawa perubahan besar dalam desa yang akan dipimpinnya. Banalitas seperti ini sering kali kita jumpa di lini masa sosmed jelang pemilihan umum. Dengan bantuan perangkat digital dan kemampuan design yang bagus, maka terpampanglah foto-foto indah dilini masa sosmed ataupun baner kandidat di tepi jalan umum.

Visi dan Misi politik para kandidat juga ikut disampirkan begitu saja pada baner dan baliho politik ditepi jalan yang cukup ramai dan/atau ditayangkan pada sosial media milik kandidat pun para pendukung 'die hard'nya. Rumusan visi dan misi politik pun, bila ditelisik dari dekat, banyak yang tidak mendalam bahkan tidak bermakna apa-apa, dan sangat mungkin untuk dilupakan oleh  kandidat sendiri. Rumusannya sekenan saja asal dihias indah secara digital lalu publish dengan keyakinan penuh. Dalam hal ini pemilih tidak boleh terkecoh apalagi terbuai. Maka harus melihat dengan 'mata elang' yang tajam menghujam.

Janji-janji politik demi memikat daya keterpilihan oleh konstituen tidak main-main ditulis dangan cetakan Bold pada baner. Di salah satu desa di Manggarai Barat, Desa Golo Sepang, yang saya ikuti terus perkembangannya, cukup menarik: Ada janji politik kandidat untuk mengupayakan ketersediaan air minum bersih yang sampai sekarang masih sangat menyedihkan keadaannya dan pernah menjadi janji politik kepala desa terdahulunya saat kampanye, tapi dia lupa saat sertelah terpilih. Ada juga yang menggagas wisata mangrove, dan lain-lainnya. Gelar akademik para kandidat tentu tidak kalah menarik menjadi pergunjingan politik para konstituen sebab tertera dengan jelas pada baliho politik para kandidat.

Fenomena 'konstituen bunglon' tentu tidak kalah menarik untuk disimak. Sekarang mereka mengepal tangan untuk kandidat A, dihari lain mereka akan kepal tangan atau mengisyaratkan nomor kandidat B sambil lantang meneriakkan dalam video yang beredar di sosmed: SIAP LANTIK! Keyakinan-keyakinan palsu yang sengaja digandakan hanya demi kepentingan pribadi tertentu. Hal ini saya melihat sebagai sebuah kekacauan kolosal dalam system pemilu dan politik praktis di Indonesia sebab gejala tersebut memiliki daya rusak keelokan politik dalam tataran praktis.

Gejalan lain yang tertangkap di sosmed adalah adanya 'keretakan' keluarga akibat beda pilihan politik. Faktanya demikian, sang Adik dukung kandidat A, sang kakak dukung kandidat B, orangtua dukung kandidat C, dan seterusnya. Bila merujuk pada pengalaman yang sudah-sudah, setelah pemilu mereka akan baku cerita menjelekkan nama, tidak saling kunjung rumah, bahkan tidak saling tegur sapa bila berpapasan di jalan. Ini gejala sakit jiwa politik yang harus disembuhkan sehingga politik praktis di Indonesia, bahkan di dusun-dusun sekalipun agar naik kelasnya ke menjadi rasional.

Tentu harus menjadi sebuah imperative dan juga kesadaran bagi para kandidat untuk menyimak fenomena-fenomen dalam masyarakat (konstituen) tersebut secara menyeluruh agar dapat melakukan pengendalian secara tepat bila terjadi friksi sosial secara masiv. Juga harus memiliki strategi jitu untuk melakuakn rekonsiliasi politik pasca pemilihan. Sehingga upaya membangun desa kemudian menjadi tanggung jawab seluruh warga yang didireksi oleh Kepala Desa. Kepala desa terpilih harus mampu mengakomodir seluruh aspirasi masyarakat desa yang dipimpinnya. Peristiwa-peristiwa politik saat kampanye harus segera dituntaskan dan mengajak seluruh masyarakat untuk libat sesuai dengan kemampaun dan juga keahliannya.

Demi objektivitas pemilihan pemilih, bila dimungkinkan, agar KPU, melalui para panitia yang dipersiapkannya untuk membentuk kanal dialogis antara para kandidat. Rencana dan gagasan mereka untuk membangun desa harus dipresentasikan kepada masyarakat dalam dialog terbatas dan terukur sehingga masyarakat dapat menilai dari para kandidat dari dekat berdasarkan rumusan gagasan atapun kemampun berdialektija dengan kandidat lainnya. Masayarakat Desa tentu dianjurkan untuk memilih kandidat yang dinilai paling mumpuni. Dialog cerdas antara kandidat dan konstituen harus menjadi pemandangan yang jamak dan mencerahkan.

Kanal dialogis ini menjadi urgent dalam memilih di antara banyaknya kandidat, sebab salah satu bahaya dari praktik demokrasi dalam pemilu di Indonesia ini adalah adanya kemungkinan orang yang tidak kompeten menduduki jabatan eksekutif atau jabatan strategis lainnya yang dipilih melalui mekanisme pemilu , namun setelah terpilih dalam pemilu semua janji politiknya dilupakannya lalu menjadi koruptif dalam banyal aspek. Banyaknya uang yang telah dikeluarkan untuk entertain tim sukses dan juga konstituen  akan menjadi trigger untuk berlaku korup saat menjabat.

Bagi masyarakat dan Ase-Kae di Desa Golo Sepang yang sedang semangat berpartisipasi dalam sosialsisasi kandidat dan juga kampanye, besar harapannya agar nanti memilih kandidat yang benar-banar punya kemampuan untuk memetakan soal di desa dan mampu mengeksekusinya (ini dapat diketahui dari dialog antar kandidat dan juga tata hidup pribadi kandidat). Masyarakat Desa Golo Sepang harus mampu mengidentifikasi kebutuhan utama di desa: Air Bersih dan Gerkan Ekonomi yang memberdayakan masyarakat, dan hal lainnya.

Asi bike asekae laing wajo le woleng nuk pelitik. Dalam hidup berdemokrasi perbedaan pilihan politik itu sebuah keniscayaan. Perbedaan pilihan atas kandidat kepala desa itu wajar-wajar saja. Jangan mau ditindas oleh rasa tidak suka atau benci kepada saudara dan sesame karena beda pilihan. Bila ada kandidat yang menberi uang agar dipilih atau materi lainnya, jangan lupa dijepret atau divideokan sebagai dokumentasi. Itu tindakan kriminal oleh para kandidat atau tim sukses dan dapat diproses sebagai pidana atau sejenisnya. Jangan takut untuk melakukannya dan jadilah pemilih yang kritis dan juga cerdas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline