Masalah papua adalah masalah usang yang tidak pernah terselesaikan sejak dulu oleh negara. Insiden yang terjadi di kota Surabaya, Malang dan Semarang adalah kejadian yang sudah sepersekian kali terjadi dengan motif maupun kasus yang tidak jauh berdeda.
Jikapun negara mengakui bahwa Papua adalah salah satu wilayah dalam lingkup negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), maka sudah sepatutnya memperlakukan masyarakatnya secara adil sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya.
Sebagai daerah dengan kekayaan alam yang berlimpah, memang Papua akan selalu jadi bahan perbincangan yang paling sexy di negeri ini terlebih diskala multinasional khususnya bagi negara-negara imperium yang sudah sejak dulu memang menginginkan kandungan alam di bumi Papua sebagai sasaran jarahan paling menguntungkan.
Idealnya, sumber daya yang berlimpah harusnya memberi manfaat bagi rakyat yang sedang melangsungkan hidup didalamnya agar tidak ada lagi teriakan penderitaan maupun kemiskinan. Namun pada kenyataannya harapan itu hanya pada batas ekspektasi kosong.
Secara eksplisit sebenarnya masalah di Papua adalah soal ekonomi dan politik.
Kenyataan secara ekonomi, katakanlah PT. Freeport pada tahun 2017 memiliki keuntungan Rp 44 triliun yang merupakan hasil dari menggeruk isi perut bumi Papua. Walaupun besaran keuntungan itu jauh melebihi pendapatan asli daerah papua bahkan jika digabungkan antara provinsi Papua dan Papua barat yang perolehan keuntungannya tidak lebih dari Rp 25 triliun. Besaran keuntungan itu sama sekali tidak dirasakan masyarakat papua, justru sebagian besar mengalir pada kantong-kantong segelintir orang saja.
Dalam hal ini, sebaiknya negara perlu memastikan akses rakyat papua terhadap ekonominya. Misalnya akses pada faktor-faktor produksi terutama mengenai tanah dan modal usaha bagi rakyat papua.
Tentu harus dengan cara mendorong reforma agraria yang menguntungkan rakyat, perlindungan terhadap tanah adat dan membatasi izin pemanfaatan tanah untuk perkebunan berskala luas. Dan jika pemerintahan saat ini fokus pada pemerataan dalam hal infrastruktur maka infrastruktur yang dibangun harusnya memberi manfaat pada masyarakat yang tentu saja syarat akan perbaikan ekonomi.
Kemudian kenyataan secara politik, infrastruktur politik di Papua tidak bekerja secara efektif dalam hal merespon setiap tuntutan berupa berbagai keresahan dan persoalan masyarakat papua. Akibatnya, banyak aspirasi masyarakat papua tidak menemukan saluran politiknya.
Bahkan selama ini negara selalu mempertontonkan respon kekerasan dan militeristik terhadap setiap ekspresi politik masyarakat papua. alhasil melahirkan rentetan pelanggaran hak azasi manusia (HAM) yang justru semakin memperuncing konflik.
Dalam kasus ini, harusnya pemerintah dan masyarakat indonesia mengubah cara pandang atas persoalan papua dengan prinsip sosionasionalisme yakni mengedepankan kebangsaan dan kemanusiaan. Karena nasionalisme kita adalah soal membangun kesamaan nasib dan kehendak untuk bersatu demi cita-cita bersama untuk membangun sebuah negara yang merdeka adil dan makmur.