Lihat ke Halaman Asli

Aku dan FLP

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aku dan FLP

FLP TEMPAT BERBAGI

Saat mengenal Forum Lingkar Pena (FLP), saya masih mengenakan seragam putih biru. Saya tahu FLP karena menggandrungi bacaan majalah Annida. Saban bulan membeli dengan menyisih uang jajan. Melahap semua cerpen-cerpen yang ada. Dari sana saya mengenal beberapa penulis ternama; Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Diana Roswita, Muthmainnah. Disudut hati, saya ingin seperti mereka. Ingin menulis dengan baik dan dimuat di media. Terlebih kesenangan menulis telah ada sejak saya duduk di bangku sekolah dasar.

***

Di tahun itu 2001, saya mendengar kabar jika FLP akan dibentuk di Aceh. Nekad hati saya mencoba langsung mendaftar pada saat FLP Aceh diresmikan. Setelah itu saya menyisihkan waktu minggu saya untuk bertandang dan mengikuti setiap pertemuan.

Awalnya membosankan. Terlebih anggota yang ada tak begitu ramai, tak lebih dari sepuluh jari. Kami sering berkumpul di tangga masjid. Berpindah dari satu masjid ke masjid lain. Sesekali di tanah lapang. Sedikit kecewa bergabung awalnya. Nama besarnya tak seimbang dengan apa yang saya rasakan. Sempat bertanya mengapa bisa seperti ini. Mereka yang saya anggap pengurus hanya berujar, FLP tak punya uang.

Sejenak saya memberi jeda dari FLP. Saya lebih fokus menyelesaikan ujian akhir dan sibuk mencari sekolah terbaik untuk jenjang berikutnya. Saya menarik diri dari FLP. Tak lagi terlibat dalam pertemuan rutin. Tak lagi bertukar cerita, hingga saya alpa bagaimana kabar FLP.

Hingga akhirnya, Diana Roswita menelepon suatu pagi. Ia menanyakan kabar saya. Terperangah dibuatnya.  Tak mengira seorang penulis yang sering saya baca karyanya sudi hati bertukar kabar. Diujung pembicaraan, ia mengajak saya kembali bergabung di FLP.

Meluang waktu saya memenuhi permintaan itu. Saya hadir kembali di FLP. Disambut selayak anak yang pergi dari rumah. Tak menganggap asing terlebih membuka jarak. Semuanya mencair, membaur. Saya sumringah dengan sambutan ini.

Dipertemuan baru saya ini, FLP tak lagi bergerak dari masjid ke masjid. Ia kini menempati posisi tetap. Kami menamainya sekret. Tempatnya mungil. Berlantai dan berdinding kayu. Jika siang hawa ruangnya terlalu panas hingga kami harus bersegera bubar. Kami tak punya uang untuk sekedar membeli kipas angin. Ya, FLP menempati loteng sebuah usaha konveksi spanduk. Ruangnya kecil dan sempit. Dibeberapa sudut kami harus merunduk karena atapnya yang kerendahan. Saat pertama kali tiba, saya mengernyit heran. Bagaimana mungkin rumah tikus menjadi sekretariat FLP?

Dari teman-teman pengurus, saya tahu sekret ini ada dari hasil patungan bersama. Masing-masing memberikan semampunya.  Hingga terkumpul dan menyewa ruangan lantai dua ini. Saya masih teringat bagaimana Diana Roswita membeli karpet bermeter-meter dari hasil hadiahnya menjuarai lomba menulis. Dengan keterbatasan saya melihat raut-raut ikhlas disini. Membentuk rasa bahagia. Setidaknya kami tak harus lagi pusing untuk sekedar berkumpul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline