Lihat ke Halaman Asli

Tentang Bapak Sepuluh Tahun Lalu

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telah lama ingin menulis tentang Bapak. Dan kurasa ini malam terbaik mengenangnya...

-----------------------------------------------------------

Tentang Bapak Sepuluh Tahun Lalu

Ini malam ganjil. Sepuluh tahun yang lalu, di masa itu aku dan kesembilan saudaraku terisak di kamar inap paviliun keumala Rumah Sakit Zainal Abidin. Kami berkumpul dengan kesiapan sempurna. Kesiapan akan perginya Bapak pada malam hujan itu.

Saat itu tigabelas ramadhan. Sakit Bapak telah parah berbilangan tahun lamanya; jantung, darah tinggi, kompilasi penyakit orang tua, hingga terakhir stroke yang menyerang tubuhnya hingga sulit bergerak. Bapak telah berulang kali masuk rumah sakit. Dan malam itu, ini kesekian kalinya ia masuk rumah sakit.

Kali ini lebih riskan. Detak jantungnya melemah. Sesaat tersadar dan kembali tenggelam tanpa sadar. Kami mengasihi Bapak saat itu. Bergantian kami menjaganya. Pada masa itu aku bersyukur, mungkin ini jalan Tuhan yang menyatukan kami dalam bersepuluh saudara kandung. Setidaknya kami bisa membagi waktu menunggu Bapak di rumah sakit.

Bapakku kelahiran tahun 1942. Ia hanya pegawai biasa di dinas pendidikan. Ia termasuk loyal terhadap kami, anak-anaknya. Ia tahu cara terbaik membahagiakan kami, dan membuat kami tersenyum kesenangan. Ia adalah teman terbaik dalam perjalanan.

Dulu, ketika aku kecil. Aku lebih memilih Bapak ketimbang Ibu untuk pergi jalan-jalan ke pasar Aceh. Bapak tak banyak peraturan. Itu kutafsir dengan pandanganan kecilku. Ia akan loyal dengan permintaanku; gulali warna-warni, snack dengan berbagai rasa, es cream, coklat, minuman-minuman segar. Dan ia memenuhi permintaan itu jika kantong sakunya berlebihan. Ibu? ia seorang Guru di Sekolah Dasar, ia akan lebih selektif dengan jajanan pasar. Ia tak suka penyedap-penyedap atau makanan warna-warni. Baginya itu sumber penyakit yang menggerogoti tubuh perlahan. Aku kecil tak sepakat itu. Bagiku segala bentuk jajanan pasar itu mengenakkan. Maka itu aku lebih memilih Bapak sebagai teman berjalan.

Bapak juga yang mengajariku mencintai buku. Ia tak pernah memaksa kami membaca buku. Ia memberi contoh di rumah kami. Kegilaan membacanya membuat buku-buku memenuhi lemari-lemari rumah. Sesekali, sepulang dari kantor ia membawa buku cerita untuk kami, anak-anaknya. Dengan buku ia sedikit cerewet. Tak bisa membuat kami bebas. Ia selektif; buku tak boleh robek, tak boleh dilipat, tak boleh berserakan selepas membaca, harus diletakkan dengan baik di lemari. Aku kecil memahami itu sebagai kejengkelan. Namun aku mengerti kini, ketika koleksi buku ku diobrak-abrik keponakan, atau hilang tak juntrungan aku merasa seperti Bapak pada masa dulu. Cerewet.

Bapak adalah lelaki sempurna di rumah kami. Ia bekerja. Namun tak mengurung ia membantu Ibu di rumah. Bapak tak segan turun ke pasar. Membeli segala kebutuhan rumah. Keluar masuk pasar Peunayong dan Pasar Aceh. Membelanja segala kebutuhan rumah dan kesepuluh anak-anaknya. Bahkan suatu ketika, ia pulang dengan baju lembab beraroma amis. Ketika Ibu tanya kenapa, “tadi kena siraman rendaman air ikan di pasar,” ujarnya.

Hingga suatu ketika dipenghujung tahun 1999. Bapak terserang stroke ringan. Saat itu, ia baru saja pulang mengambil gaji pensiunnya. Tiba-tiba saja tubuh kirinya kesulitan bergerak. Kaku. Tubuhnya lunglai. Kami yang saat itu tak mengerti apa-apa berkumpul di rumah. Menyaksikan Bapak yang tiba-tiba tergeletak tak berdaya. Lekas dibopong ke rumah sakit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline