Lihat ke Halaman Asli

Feren FatmaFatkhia

Sedang Menempuh Pendidikan S-1 Ilmu Sejarah UNNES

Kebebasan Pers Indonesia: Jejak dan Tantangannya di Era Digital Terkini

Diperbarui: 19 Desember 2024   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pers memiliki andil besar dalam menyampaikan informasi. Fungsi pers seperti yang dicantumkan dalam UU No. 40 Tahun 1999 pasal 3 menjelaskan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, serta sebagai lembaga ekonomi. Masih dalam aturan undang – undang yang sama, pasal 6 menerangkan peran pers sebagai memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai demokrasi, supremasi hukum, HAM; menggugah opini umum secara akurat, tepat, dan benar; sebagai pengawasan, kritik, koreksi dan saran dari kepentingan umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Kedua pasal tersebut menjadi acuan hukum bahwa lembaga pers memiliki hak kebebasan untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi kepada massa. Pers termasuk dalam pilar demokrasi karena penyebaran informasi massa beriringan dengan asas demokrasi, yaitu konsep transformasi menyeluruh dan terbuka. Kekuatan pers dalam dunia demokrasi setara dengan sistem trias politica dengan fungsi dan peran pers dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan menyalurkan aspirasi rakyat.

Perjalanan pers pertama di Indonesia berawal dari Bataviase Nouvelles, sebuah percetakan Belanda yang berdiri sejak Agustus 1744 hingga 1746. Media pers pada waktu itu masih menggunakan teknologi cetak. Meskipun institusi pers di Indonesia kebanyakan didirikan oleh orang Belanda, mereka juga mengkritisi kebijakan otoriter pemerintah kolonial terhadap pers. Para cendekiawan Indonesia terinspirasi untuk memanfaatkan media pers sebagai media perjuangan bangsa sejak pertengahan abad 19. Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, bidang pers di Indonesia semakin berpengaruh dalam kehidupan politik, khususnya dalam tujuan menuju kemerdekaan Indonesia. Pesatnya pers di Indonesia pada masa orde lama dan baru difungsikan sebagai alat propaganda bagi sebuah partai dan pemerintah yang berkuasa. Peran pers dalam kehidupan politik Indonesia seringkali menimbulkan konfrontasi antara pemerintah dengan golongan oposisi partai. Terutama dikeluarkannya kebijakan Permenpen Nomor 1 Tahun 1984 yang menetapkan lembaga pers harus membuat Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) melalui Menteri Penerangan. kebebasan pers dalam menyuarakan kepentingan untuk masyarakat sangat terbatas. Kebijakan Soeharto yang mencabut izin terbit SIUPP dari TEMPO, EDITOR, dan DETIK menimbulkan munculnya gerakan kemerdekaan pers pada 1994. Pada tahun yang sama, internet mulai memasuki Indonesia. Badan pers di Indonesia mulai memanfaatkan internet sebagai media baru dalam bentuk koran elektronik sebagai upaya perjuangan kemerdekaan pers. Tempo telah mengusung inovasi baru antara media cetak dengan internet, sehingga Tempo muncul sebagai media daring pertama di Indonesia pada 6 Maret 1996. Pada Mei tahun 1998, revolusi yang menuntut pemakzulan Soeharto dari berbagai unsur sosial seperti masyarakat, buruh, mahasiswa, bahkan juga termasuk organisasi pers berhasil menggulingkan pemerintahan orde baru. Peristiwa tersebut menjadi titik awal kebebasan pers di Indonesia pada era reformasi.

Pada masa reformasi, presiden ketiga yaitu B. J. Habibie mengeluarkan UU No. 40 tahun 1999, yang dimana peraturan tersebut telah disahkan. Artinya, perjuangan untuk meraih kebebasan pers bagi jurnalis telah tercapai secara nyata. Meskipun B. J. Habibie telah meresmikan peraturan tentang kebebasan pers di Indonesia, pada kenyataannya lembaga pers di Indonesia masih mengalami kendala yang dihadapi. Pertama, keadaan pers pada masa reformasi mengalami kenaikan jumlah pers dan jurnalis, namun kenaikan tersebut tidak bersamaan dengan nilai kualitasnya. Jurnalis atau wartawan seringkali memberitakan isu – isu yang berunsur SARA, pornografi, bias terhadap pihak maupun kelompok tertentu, dan tanpa didukung fakta yang mendukung isi berita. Kasus yang terkait dengan isu sensitif dan vulgar misalnya konflik suku Madura dengan suku Dayak, konflik agama di Ambon dan penghinaan terhadap Megawati Soekarnoputri melalui pers yang terkait. Kedua, adanya peraturan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang berpotensi membatasi kebebasan pers Indonesia.  Salah satu kasus dari pemojokan pers oleh KUHP adalah penangkapan pemimpin redaksi Tempo, Bambang Harymurti. Alasan penangkapan tersebut karena Bambang dituduh mencemar nama baik Tommy Winata melalui peraturan KUHP dengan konten beritanya tentang hubungan bisnis Tommy dengan pejabat pemerintah dan militer serta keterkaitannya dengan kebakaran yang melanda pasar tekstil Tanah Abang pada 2003.

Sepanjang tahun 2000-an hingga sekarang, tercatat beberapa kasus yang melibatkan pembatasan terhadap kebebasan pers di Indonesia. Kasus pertama yang terjadi pada 27 Juni 2024 memberitakan tentang kebakaran rumah yang memakan empat korban jiwa yang merupakan sebuah keluarga. Salah satu identitas dari keempat korban tersebut diketahui bernama Rico Sempurna Pasaribu, seorang wartawan lokal di media online Tribrata.tv. kasusnya tersebut menuai perhatian masyarakat lantaran mendiang Rico berusaha mengungkap kasus judi dan narkoba yang diduga dibekingi oleh oknum tentara koptu HB. Masih di tahun yang sama, pembungkaman kebebasan pers melalui upaya kriminalisasi narasumber sering terjadi. Upaya tindakan kriminal terhadap narasumber dialami oleh Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP ketika sedang menghadiri stasiun media SCTV untuk memenuhi panggilan wawancara tentang kesaksiannya dalam kasus Harun Masiku dan proyek jalur kereta di DJKA. Kedua kasus tersebut memang sedang diusut dengan matang oleh KPK, sehingga Hasto dituduh menyebarkan berita hoaks dan penghasutan oleh pihak tertentu. Selanjutnya berita mengenai pelaporan narasumber Tempo oleh Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi perkara penyimpangan kebijakan pemulihan dan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP).

Kondisi pers di Indonesia yang diimingi janji pemerintah bahwa kebebasan pers akan terjamin hanyalah kabar angin belaka, apalagi berbagai kasus kriminalisasi terhadap pembebasan pers yang disebutkan di atas terjadi di era digital. Segala bentuk pembatasan pers seringkali dengan metode ancaman kepada individu atau kelompok melalui media sosial, menyebarkan berita hoaks dan doksing, serta menyewa buzzer untuk menyerang suatu pihak tertentu untuk tujuannya. Segala peran dan fungsi dari elemen sosial harus mengupayakan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kebebasan pers di Indonesia baik secara teori maupun praktiknya. Peran untuk melindungi kebebasan pers tidak hanya dari media jurnalis, melainkan juga disertai andil yang penuh dari pemerintah dan masyarakat sipil untuk merealisasikan cita – cita kebebasan pers di Indonesia. Segala upaya yang telah yaitu pengesahan UU No. 40 Tahun 1999 sebagai landasan hukum perlindungan kebebasan pers, pendirian Dewan Pers di Indonesia yang memantau dinamika kebebasan pers di Indonesia serta mengawali kelompok jurnalis yang dikriminalisasi, perlunya kolaborasi antara pers dengan institusi hukum untuk melindungi kebebasan pers, dan pengembangan jurnalisme berkualitas yang dimulai dari peningkatan karya tulis berita yang berbobot, independen, dan akurat untuk meningkatkan literasi media masyarakat. Terakhir, peran masyarakat dalam kebebasan pers dengan mengawasi pers, advokasi, dan edukasi media terhadap masyarakat yang awam akan pers.

Referensi:

Batubara, N. F. & Situmorang, A. P. (2024, July 17). Merunut Kasus Pembakaran Rumah Jurnalis & Perlunya Diusut Tuntas. Tirto.id; Tirto.id. https://tirto.id/merunut-kasus-pembakaran-rumah-jurnalis-perlunya-diusut-tuntas-g1Ha (Diakses pada 17 Desember 2024, pukul 10.48 WIB)

Dewan Pers Indonesia. (2024). Index Kemerdekaan Pers. Dewanpers.or.id. https://data.dewanpers.or.id/

Hamson, Z. (2019). Pers Dalam Lintasan Peradaban. CV. Tohar Media: Makassar.

Harahap, M. S. (2019). Kemerdekaan Pers Pada Orde Reformasi. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 9(2), 136- 143.

Hutagalung, I. (2013). Dinamika sistem pers di Indonesia. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(2), 156-163.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline