Belakangan ini sedang ramai tentang perdebatan mengenai orang-orang Rohingnya yang berbondong-bondong datang ke Indonesia tepatnya di wilayah Aceh. Dimana seperti yang kita ketahui bahwa para atnis Rohingnya ini tidak diterimah dan tidak diperbolehkan untuk mendarat oleh masyarakat Aceh. Menurut video yang telah banyak beredar pada media online, memperlihatkan bahwa etnis Rohingnya tidak mematuhi norma dan peraturan yang berlaku serta para etnis Rohingnya ini dinilai kurang sopan. Misalnya sudah diberihkan bantuan berupa makanan namun malah dibuang oleh mereka para oknum etnis Rohingnya. Sehingga menimbulkan perdepatan antara kubu pro dan kontra di kalangan masyarakat mengenai kedatangan etnis Rohingnya di Indonesia.
Sebenarnya berita ini mulai memanas mulai pada tanggal 14 November 2023, dimana terdapat kelompok pertama dari etnis Rohingnya yang tiba-tiba datang di pantai aceh sebanyak 196 orang. Kemudian pada tanggal 15 November 2023 datang lagi gelombang kedua sebanyak 174 orang ke Indoensia. Semua orang-orang etnis Rohingnya datang menggunakan satu kapal yang sudah reyot dan kelebihan muatan. Mereka berlayar dari Banglades dengan jarak sekitar 1.800 km. Orang-orang etnis Rohingnya berlayar sangat jauh dan dalam keadaan yang terbatas memiliki tujuan agar bisa mendapatkan bantuan di wilayah lain. Dari desas-desus yang beredar, bahwa orang-orang etnis Rohingnya juga harus membanyar sejumlah uang untuk kapal yang mereka tumpangi. Namun, para etnis Rohingnya yang datang pada bulan Nivember lalu mendapatkan penolakan dari masyarakat Aceh. Dan hal inilah yang diangkat oleh laman-laman berita sehingga menimbulkan banyak pertanyaan. Dari sinilah munculnya perdebatan berupa pendapat yang pro dan kontra mengenai hal ini.
Bila sekilas kita melihat orang-orang etnis Rohingnya ini, memiliki kemiripan dengan orang-orang India. Namun sebenarnya, kata rohingnya sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan komunitas orang-orang muslim yang berada pada wilayah Rakhine atau Arakan dari negara Myanmar. Yang mana itu juga berbatasan langsung dengan negara sebelahnya yaitu Banglades. Lalu, apakah etnis Rohingnya adalah salah satu etnis dari penduduk myanmar asli? Jawabannya hingga saat ini masih menjadi perdebatan.
Karena menurut sejarahnya, ada yang mengatakan bahwa orang etnis Rohingnya ini telah tinggal di Myanmar dari awal. dan ada yang mengatakan juga bahwa, etnis Rohingnya merupakan seorang pendatang dari wilayah India. Oleh karena itu etnis Rohingnya memiliki kemiripan dengan penduduk India. Masyarakat etnis Rohingnya telah mendapatkan diskriminasi dan pengusiran dari pihak Myanmar sejak tahun 1942. Pada masa perang dunia kedua, dikatakan bahwa masyarakat etnis Rohingnya lebih berpihak kepada Inggris. Sedangkan penduduk asli Myanmar lebih berpihaknya kepada Jepang. Alhasil, masyarakat asli Myanmar menganggap bahwa orang-orang etnis Rohingnya merupakan seorang penghianat. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa awal mulanya konflik ini dikarena permasalahan perbedaan pendapat dan bukan karena faktor agama.
Nah yang salah disini adalah tentara Myanmar, karena seolah-olah ingin menghapuskan orang-orang etnis Rohingnya dari wilayah Myanmar yang kita sebut sebagai genosida. Kasus Rohingnya ini berbedah dengan kasus antara Palestina Israel walaupun memiliki kesamaan pada faktor genosida. Namun, setelah ditelusuri lebih jauh lagi, sebenarnya yang mendapatkan diskriminas bukan hanya orang-orang etnis Rohingnya saja. Karena sebenarnya banyak masyarakat minoritas di Myanmar yang mendapatkan diskriminasi. Jadi sekali lagi konflik ini tidak ada hubungannya dengan suatu agama tertentu. Ada kemungkinan pihak pemerintah Myanmar hanya menginginkan masyarakat asli saja yang tinggal dan mengelolah wilayah di Myanmar.
Pada tahun 1992 pemerintah Myanmar menerbitkan bahwa orang etnis Rohingnya bukanlah bagian dari penduduk Myanmar. Etnis Rohingnya tidak termasuk atau tidak dimasukkan sebagai ras nasional Myanmar. Yang asrtinya orang-orang etnis Rohingnya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar dan tidak memiliki kewarganegaraan. Karena tidak memiliki kewarganegaran, maka etnis Rohingnya ini merupakan komunitas imigran gelap. Sehingga tidak akan ada yang bertanggungjawab atas apapun yang menimpah mereka, entah mereka disiksa ataupun dibunuh. Jadi masyarakat etnis Rohingnya ini menjadi masyarakat tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia. Oleh karena itu, mereka diurus oleh lembaga-lembaga atau organisasi yang berdedikasi untuk menyalamatkan nyawa dan melindungi hak-hak mereka. Salah satunya adalah UNHCR. Karena etnis Rohingnya merasa bahwa Myanmar sudah tidak aman lagi untuk mereka, perlahan-lahan etnis Rohingnya mulai bermigrasi pada tahun 1990-an. Tapi pada puncaknya pada sekitar tahun 2017. Dikarenakan etnis Rohingnya mengalami pengususiran oleh tentara Myanmar. Dimana pada waktu itu terdapat sebanyak 742 ribu orang-orang rohingnya harus keluar dari wilayah Myanmar.
Dan dari kejadian itu, Banglades yang merupakan negara tetangga akhirnya memberikan penampungan berupa pemukiman untuk orang rohingnya yang bernama (camp cox's bazar). Menurut data pada tahun 2023 banglades telah menampung sebanyak 967 ribu orang etnis Rohingnya. Selain Banglades, terdapat negara-negara lain yang menampung orang etnis Rohingnya yaitu Malaysia sebanyak 150 ribu orang, Thailand sebanyak 91 ribu, India sebanyak 78 ribu orang, dan terakhir Indonesia sebanyak 1.000-an orang. Kebanyakan orang etnis Rohingnya menjadikan Indonesia sebagai negara transit untuk menuju negara tujuan mereka salah satunya adalah Malaysia.
Pada awal kedatangan orang etnis Rohingnya ke Indonesia pada tahun 2011, disebutkan bahwa lebih dari dua ribu orang Rohingnya terdampar di Aceh. Pada sata itu, kedatangan mereka disambut dengan baik dan diterima oleh masyarakat Aceh. Dan mereka tidak diusir sama sekali walaupun status mereka adalah imigran gelap. Akhirnya pemerinta juga membangun sebuah penampungan karena status mereka yang merupakan imigran gelap sehingga tidak boleh berkeliaran kemana-mana. Dimana mereka ditampung, diberi pakaian, dan makanan namun dengan syarat harus tetap tinggal di camp penamapungan. Penampungan tersebut dibangun diatas tanah sitar lima hektar dengan total dana 6 Milyar Rupiah. Namun, dengan seiringnya waktu satu demi satu dari etnis Rohingnya ini mencoba untuk kabur dari camp penampungan. Yang akhirnya penampungan yang telah dibangung yang awalnya dihuni oleh ribuan orang akhirnya hanya menyisakan sekitar 300-an orang saja. Karena mereka merupakan imigran gelap tentu tidak bisa seenaknya masuk dan keluar begitu saja dari indonesia. Karena hal tersebut dapat menganggu kestabilan suatu negara.
Lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas keberadaan orang-orang etnis Rohingnya Di Indonesia?. Menurut Listiarani (2020) Secara legal Indonesia tidak memiliki undang-undang yang mengatur mengenai penanganan pengungsi, alasan Negara Indonesia belum mepunyai undang-undang sendiri mengenai pengungsi dikarenakan Negara Indonesi bukan negara peratifikasi Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol New York 1967 maka dari itu Negara Indonesia belum mempunyai undang undang untuk penanganan pengungsi. Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi yang berarti Indonesia belum bisa memberikan status pengungsi bagi para pencari suaka, termasuk etnis Rohingya di Indonesia. Saat ini mekanime pemberian status dilakukan oleh UNCHR, yang cukup memakan waktu. Meskipun demikian, Indonesia menunjukkan niat baiknya dalam permasalahan ini melalui pembentukan Peraturan Presiden Republik Indonesia (PerPres) nomor 125 tahun 2016. Peraturan Presiden itu ditandatangi oleh Presiden Jokowi pada Desember 2016, dan semenjak itu Indonesia terus melakukan upaya-upaya menyelesaikan permasalahan etnis Rohingya dengan salah satunya menerima mereka sebagai pengungsi sementara di Indonesia.
Perubahan kebijakan luar negeri Indonesia terkait pengungsi Rohingya adalah sebuah hal yang perlu dibahas dan dianalisa. Indonesia yang awalnya menolak datangnya pengungsi, akhirnya memutuskan untuk menerima mereka ke dalam wilayahnya. Hal ini akan dianalisa melalui pendekatan Human Security dan konsep tentang kebijakan luar negeri termasuk faktor determinan internal dan faktor determinan eksternalnya.
menurut Tambunan (2019) Indonesia merupakan salah satu dari 17 negara pengamat dalam dewan International Organization for Migration (IOM) sejak tahun 1999 (IOM, 2014). Salsabila (2023) Indonesia yang notabene bukan merupakan negara anggota IOM telah banyak melakukan kontribusi dalam penanganan migrasi Rohingya di Aceh. Salah satunya yaitu dengan membuat rumah hunian (detensi) maupun kamp-kamp sementara untuk menampung pengungsi. Selain itu, Indonesia juga mempunyai banyak relawan dari berbagai daerah yang bertugas membantu dan menyediakan bahan pokok bagi para pengungsi. Indonesia yang sampai saat ini belum meratifikasi perjanjian mengenai pengungsi oleh IOM, belum dapat sepenuhnya memberikan bantuan maupun perlindungan yang layak bagi para pengungsi Rohingya. Namun, hal ini juga bukan merupakan suatu tindakan yang tepat untuk dilakukan. Mengapa ? Dengan Indonesia meratifikasi perjanjian mengenai pengungsi tersebut, justru akan berdampak pada kenyamanan para pengungsi, yang dikhawatirkan akan membuat lebih banyak lagi pengungsi.