Lihat ke Halaman Asli

Kawin Beda Agama: Ruwet Gak Seh? Tok! Sekarang Tidak Boleh!

Diperbarui: 19 Juli 2023   04:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peserta Ressyouth On The Road (Sumber Pribadi). 

Sedikit kilas balik pada 20 Mei 2023 lalu, komunitas pemuda-pemudi GKI Residen Sudirman Surabaya menyelenggarakan acara Ressyouth On The Road sebagai wadah dialog lintas agama yang membahas tentang keruwetan masalah pencatatan kawin beda agama di Indonesia. Ternyata jawaban dari keruwetan pencatatan kawin beda agama di Indonesia secara tidak sengaja dijawab oleh Mahkamah Agung, yakni demi kepastian hukum dan kesamaan penerapan hukum dinyatakan kawin beda agama tidak diperbolehkan di Indonesia. 

Jawaban tidak diperbolehkannya kawin beda agama di Indonesia termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 (SEMA 2/2023) tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Melalui SEMA 2/2023 tersebut, alasan mendasar untuk keruwetan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia ialah mewujudkan kepastian hukum dan kesamaan penerapan hukum bagi hakim yang mengadili permohonan perkawinan beda agama dan kepercayaan tersebut. 

SEMA 2/2023 tersebut memberikan pedoman kepada hakim yang mengadili permohonan pencatatan perkawinan beda agama dengan dasar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 huruf f UU Perkawinan yang pada intinya mengatur perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Lebih lanjut, pada poin kedua pedoman yang ditetapkan dalam SEMA 2/2023 tersebut diatur jika pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan. 

SEMA 2/2023 Bertentangan Dengan  UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) 

Sebelum membahas pertentangan antara SEMA 2/2023 dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, perlu diingat kembali mengenai hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Menurut Pasal 7 Jo. Pasal 8 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada prinsipnya SEMA memang diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, kedudukannya SEMA ialah tidak setara dengan undang-undang. SEMA merupakan produk peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari wewenang Mahkamah Agung untuk memberikan petunjuk kepada seluruh peradilan dibawah Mahkamah Agung. Dengan kata lain, SEMA hanya mengikat dalam lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung saja. 

Namun, dengan adanya SEMA 2/2023 ini membuat adanya pertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan. Pertama, Pasal 35 huruf a UU Adminduk yang mengatur "Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: 

a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan;".

Pasal ini seringkali digunakan sebagai aturan eksplisit atau jalan keluar bagi hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan perkawinan beda agama. Pun dipertegas kembali pada bagian penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk, yang menyatakan "Yang dimaksud dengan ”Perkawinan yang ditetapkan olehPengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umatyang berbeda agama."

Dengan adanya konflik norma dalam dua peraturan perundang-undangan ini antara SEMA 2/2023 dan UU Adminduk, menunjukkan pemerintah kembali mengambil langkah yang gegabah dan justru menimbulkan permasalahan lebih luas lagi dibandingkan sebelumnya yang hanya berputar pada masalah keruwetan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia. Jikalau memang ingin melarang perkawinan beda agama di Indonesia, sudah seharusnya ketentuan pada Pasal 35 huruf a UU Adminduk ini dihapus terlebih dahulu, karena pasal tersebut tidak dapat dipungkiri menjadi landasan hakim demi mewujudkan asas hukum ius curia novit (hakim wajib menerima dan mengadili perkara yang masuk di pengadilan, meskipun tidak ada atau tidak jelasnya pengaturan terhadap suatu masalah). Apalagi kedudukan SEMA yang dinilai tidak dapat mengikat, menjadi problematika lanjutan dari adanya konflik norma ini. 

Proses penghapusan atau pencabutan terhadap Pasal 35 huruf a UU Adminduk ini sudah semestinya dilakukan melalui wewenang legislatif, yaitu DPR. Padahal, terbaru dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022, dalam concuring opinion Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh telah disebutkan jika sengkarut masalah perkawinan beda agama perlu dikaji ulang bagi pembentuk peraturan perundang-undangan, yaitu Presiden/Pemerintah dan DPR. 

Dua hakim konstitusi tersebut, mengusulkan agar pembentuk peraturan perundang-undangan melakukan perubahan pada ketentuan UU perkawinan dengan menyesuaikan dinamika sosial serta beberapa hal lainnya guna menyelesaikan sengkarut masalah perkawinan beda agama maupun pencatatan perkawinannya. Akan tetapi, alih-alih menyelesaikan masalah perkawinan beda agama di Indonesia yang terus bergulir, justru keluarnya SEMA 2/2023 makin membuat konflik norma perkawinan beda agama di Indonesia semakin tidak jelas, meski tujuan adanya SEMA tersebut adalah kepastian hukum dan kesamaan penerapan hukum di lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline