Judul : Aku Terkenang Flores.
Pengarang : Kapten Tasuku Sato dan P. Mark Tennien.
Penerbit : Nusa Indah.
Cetakan : Kedua, 2005.
Jumlah halaman : 224.
"Flores yang terletak di Lautan Pasifik Selatan dikatakan orang sebagai tempat yang penuh misteri dengan hutan-hutan tropisnya yang subur, pohon-pohon, buah-buahan liar, angin yang mendesir, dan air pancuran yang gemericik."
"Dari markasku, saya dapat melihat gunung api yang menjulang tinggi dengan puncak yang menyerupai kerucut awan-awan. Gunung ini mengingatkan aku akan Gunung Fuji di Jepang. Setiap kali saya memperhatikan pemandangan ini, saya jadi kangen akan kampung halaman. Saya lalu memberikannya nama Fuji Flores dan mengangkatnya sebagai saudara sepupu Gunung Fuji kami."
Dua kutipan itu dideskripsikan oleh Tasuku Sato, dalam benaknya membayangi Pulau Flores itu seperti apa dan bagaimana keadaan pulau di sana sebagai surga tersembunyi dan alam di sana?.
Tampak bukunya sekilas seperti novel, tetapi ketika kita membaca isinya itu benar-benar memuat unsur biografi dan lebih mengisahkan peristiwa kisahnya secara spesifik, itulah disebut memoar. Buku berdasarkan kisah pengalaman kapten Tasuku Sato berada di pulau Flores yang ditulis oleh P. Mark Tennien, misionaris dan kawan Sato.
Pria berpangkat kapten itu menaiki pesawat AL, perjalanannya ke Flores dan satu tumpangan dengan beberapa rohaniawan berjubah hitam yang ternyata mereka adalah Monsiyur Ogihara dari Hiroshima dan Monsiyur agung Yamaguchi dari Nagasaki. Karena pertemuan secara tidak terduga tersebut, pikiran Tasuku terngiang-ngiang mengenai keberadaan mereka menyangkut Gereja dan hal itu memberi jalan kepada Tasuku mengetahui apa itu iman kristiani sesungguhnya selama berada di Flores dan penjumpaannya dengan penduduk asli yang menganut Katolik di sana, akan mengubah pandangan hidupnya. Di Flores, ia ditugaskan untuk menjaga dan mempertahankan wilayah itu dari serangan sekutu.
Awalnya Tasuku tidak paham mengenai bagaimana Gereja Katolik bisa tumbuh subur di lingkungan asing dan setelah menelusuri seluk beluknya, pria itu paham terkait dampak kontribusi perkembangan dan perubahan sosial masyarakat Flores , berkat adanya kehadiran Katolik. Gereja Katolik hadir tidak meniadakan adat istiadat, melainkan memperbaharui kehidupan dengan nilai-nilai berbudi luhur, karena itu kekristenan sudah mengakar ke dalam sendi kehidupan orang-orang Flores dan tidak bisa terpisahkan.Pemikiran Sato makin berubah, yang mulanya tidak acuh terhadap ajaran kristiani, menjadi tertarik mempelajarinya sampai ke tahap membela klerus, meskipun statusnya masih belum menjadi Katolik. Pria bermarga Sato berusaha keras mempertahankan imam-imam Eropa tidak diinternir oleh pihak Angkatan Laut, mengingat mereka tetap dibutuhkan dalam pelayanan misa dan pengajaran sekolah. Agar kerja sama Jepang dengan masyarakat lokal berjalan lancar, demi tidak menimbulkan konflik semata.
Dia juga membela pastor-pastor Eropa dari komandan tingkat atas mengenai mereka akan digantikan oleh klerus Jepang. Karena berdasarkan penuturannya bersama Uskup Yamaguchi, hal itu tidak bisa dilakukan oleh pihak pemerintah sipil sebab tidak sesuai Hukum Kanonik Gereja dan hanya boleh diurus oleh Tahta Suci selaku otoritas tertinggi menyangkut Gerejawi, di Vatikan.
Selain itu, memoar ini menceritakan budaya dan kehidupan suku-suku dan keindahan alam yang ada di pulau Bunga dalam perjalanan dinasnya yang mengelilingi pulau itu, berdasarkan kesaksiannya sendiri, dipenuhi dengan kedalaman yang emosional.
Kekurangan dari buku ini, terjemahannya memakai beberapa kosakata yang agak sulit dipahami saat membaca, sehingga harus sering membuka di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mencari arti kata itu, penuh kesalahan ejaan dan salah pengetikan ulang membuat saya tidak nyaman membacanya. Juga di dalam pengalamannya tidak diceritakan apakah ada romusha di Flores saat itu?. Walaupun begitu subjektif, memoarnya cocok dijadikan rujukan sejarah mengenai keberadaan penjajahan Jepang di Indonesia Timur khususnya Flores.