Akhir Januari 2018 menjadi momen pemberlakuan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) secara resmi dalam struktur administrasi pengelolaan hutan di daerah yang melengkapi struktur Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat.
Hal ini juga merupakan implikasi dari UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menarik kewenangan pengurusan kehutanan tingkat kabupaten/kota ke tingkat provinsi. Wilayah administrasi hutan (selain dari hutan konservasi) pada seluruh kabupaten/kota di Sumbar terbagi habis menjadi 10 KPH dengan nama Pasaman Raya, Lima Puluh Kota, Agam Raya, Bukit Barisan, Sijunjung, Solok, Batanghari, Dharmasraya, Pesisir Selatan, dan Mentawai.
Sebenarnya, ide KPH bukanlah hal yang baru. KPH sudah diwacanakan dalam UU Nomor 5 Tahun 1967, meski baru diperjelas setelah pemberlakuan UU Nomor 41 Tahun 1999 yang melahirkan peraturan-peraturan yang lebih konkrit. Sumbar merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang dengan cepat mengadopsi ide pembentukan KPH ini. Ide utama KPH adalah menyediakan unit pengelolaan hutan pada tingkat tapak untuk menjamin pengelolaan hutan lestari.
Namun demikian, karena KPH merupakan organisasi yang berada di bawah Dishut Sumbar, tentunya tidak terlepas dari urusan-urusan birokrasi. Sejumlah tantangan mengemuka, diantaranya tumpang tindih peran, independensi, fungsionalisasi, dan profesionalisme. Hal ini menyangkut pada ketegasan batas kewenangan administrasi dan operasional (pengelolaan hutan) serta peningkatan kapasitas aparatur kehutanan. Berbagai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat menjadi pedoman, meski implementasi peraturan tersebut mungkin akan berbeda dengan kenyataan lapangan.
KPH memiliki tugas untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan bagi kesejahteraan masyarakat. Tugasnya meliputi bidang perencanaan, perlindungan, pemanfaatan, dan rehabilitasi yang perlu mempertimbangkan peran swasta dan masyarakat. Ada dua peran penting yang perlu dimainkan oleh KPH, yaitu sebagai unit manajemen mitra dan unit manajemen produktif.
Unit Manajemen Mitra
Keberadaan KPH dalam dinamika pengelolaan hutan saat ini dihadapkan pada kompleksnya kepentingan para pihak terhadap hutan. Isu utama yang perlu mendapatkan perhatian adalah keadilan manfaat. Sebagaimana amanat UUD kita, hutan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, manfaat harus dirasakan oleh berbagai pihak secara berkeadilan. Jika dulu dirasakan manfaat hutan hanya untuk swasta dalam bentuk izin konsesi, saat ini masyarakat telah diberi ruang yang lebih untuk memanfaatkan sumber daya hutan sebagai sumber penghidupannya.
Swasta yang telah mendapatkan izin konsesi dan menjalankan tugas-tugas pengelolaan hutannya dengan baik perlu dipertahankan sebagai unit manajemen tingkat tapak yang profesional. Izin-izin konsesi ini dapat berupa pemanfaatan hutan alam, hutan tanaman, atau restorasi ekosistem.
Sementara itu, masyarakat sekitar hutan yang hidupnya bergantung pada hutan perlu diarahkan dan dibimbing menjadi unit manajemen tingkat tapak yang mandiri. Peran masyarakat ini telah diakomodir dalam skema-skema perhutanan sosial, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan. KPH dapat memainkan peran sebagai mitra yang memperkuat areal kelola hutan oleh swasta dan masyarakat menjadi unit manajemen tingkat tapak yang lestari.
Unit Manajemen Produktif
Pemanfaatan hutan perlu dilakukan secara optimal. Hutan bukan hanya berfungsi ekologis semata, tapi juga berfungsi sosial dan ekonomi. Menjaga hutan untuk kehidupan generasi yang akan datang memang penting, tapi memanfaatkan hutan untuk penghidupan generasi saat ini dan yang akan datang adalah inti dari ide kelestarian yang selalu didengung-dengungkan. Tantangan bagi KPH kemudian memanfaatkan sumber daya hutan secara optimal pada areal-areal yang belum terbagi dalam unit manajemen yang dikelola oleh masyarakat dan swasta.