Lihat ke Halaman Asli

Ferdinal Asmin

PNS bertempat tinggal di Padang

Masalah Lingkungan Hidup di Indonesia

Diperbarui: 4 April 2017   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pertumbuhan penduduk yang tinggi memang menyebabkan bertambahnya kompleksitas permasalahan lingkungan hidup di muka bumi ini. Perilaku konsumsi, pola produksi, dan distribusi sumber daya alam antar negara selalu berubah, sedangkan kualitas dan kuantitas lingkungan sebagai penyangga kehidupan manusia juga cenderung menurun.Secara teknis, masalah lingkungan yang krusial bagi kehidupan manusia adalah hal-hal yang terkait dengan pangan, energi, dan air.

Sebagai negara berkembang, Indonesia mengalami persoalan-persoalan terkait dengan pangan, energi, dan air, bahkan persoalan tersebut seringkali dikaitkan dengan isu-isu perubahan iklim dan pemanasan global.Pengaruh-pengaruh isu global seringkali mendominasi cara berpikir pembuat kebijakan untuk menangani berbagai masalah lingkungan di Indonesia.Jika dicermati lebih jauh, Indonesia memiliki potensi produksi pangan beragam dengan dukungan sumber daya lahan yang luas.Contohnya, kita memiliki lahan hutan produksi yang potensial sebagai lumbung pangan seluas ± 56 juta hektar (Kemenhut 2012). Apabila setengah dari luasan tersebut dapat dikembangkan menjadi kawasan agroforestry, maka diperkirakan akan mampu memproduksi minimal 560 juta ton pangan dari berbagai komoditi seperti padi ladang, jagung, ubi kayu, sagu, dan lain sebagainya.

Kekhawatiran krisis air juga bertentangan dengan kenyataan potensi sumber daya air di Indonesia.Pada umumnya, wilayah Indonesia memiliki cadangan air tawar 6 % dari cadangan dunia atau sekitar 21 % dari cadangan air di wilayah Asia Pasifik. Ketersediaan air di Indonesia sangat tinggi karena tingginya curah hujan dan potensi ketersediaan air permukaan dan air bawah tanah (Kementerian LingkunganHidup 2010). Dengan potensi yang besar tersebut seharusnya Indonesia tidak sulit memenuhi kebutuhan air masa datang. Bappenas (2010) menghitung air permukaan sebesar 2,746,564 x106m3/tahun dan air tanah sebesar 4,700 x106 m3/th, sehingga total sebesar 2,751.264 x 106m3/tahun atau 691,341 x106 m3/tahun total air yang diperhitungkan dan rata-rata ketersediaan air adalah 3,138.6 m3/tahun/kapita. Itu artinya bahwa rata-rata potensi konsumsi air masyarakat Indonesia lebih dari dua kali rata-rata konsumsi dunia, yang tentunya dapat melebihi rata-rata konsumsi air negara maju.

Sumber daya energi Indonesia juga sangat beragam dan cadangan energi yang paling banyak tersedia adalah energi bahan bakar non-fosil.Apabila kita menggunakan rencana aksi konsumsi energi Indonesia yang dikeluarkan Bappenas (2010), diperkirakan konsumsi energi kita tahun 2025 baru mencapai 12 setara barrel minyak/kapita/tahun. Perkiraan tersebut dapat dianggap sebagai sebuah perkiraan yang underestimated.Perhitungan sederhana, hutan produksi dapat dimanfaatkan secara lestari menghasilkan produksi kayu bulat sekitar 94 juta m3dengan daur 35 tahun. Karena rendemen kayu yang cukup besar pada saat penebangan dan pengolahan di sawmill, kayu bulat sebanyak itu dapat diprediksi mampu menghasilkan 1.5 milyar setara barel minyak pada tahun 2025 dengan asumsi hanya 50 % sisa kayu dari sawmill yang kita olah menjadi pelet kayu. Artinya, dengan pemanfaatan teknologi pelet kayu maka konsumsi energi Indonesia dapat ditingkatkan menjadi 18 setara barrel minyak/kapita/tahun.Hasil yang lebih signifikan dapat kita capai bila sumber energi dari air, panas bumi, gelombang laut, dan energi baru terbarukan lainnya dapat dioptimalkan.

Fakta tersebut di atas merupakan argumentasi yang dapat mementahkan kekhawatiran krisis pangan, energi, dan air di Indonesia dari sudut pandang kuantitas sumber daya yang dimiliki.Eksploitasi sumber daya alam tentunya akan memberikan dampak negatif dari sisi kualitas sumber daya alam itu sendiri.Kita seringkali menemukan fakta menurunnya kualitas air danau, kualitas udara di perkotaan, pencemaran tanah akibat penggunaan bahan kimia di lahan pertanian, dan sebagainya.Besaran dampak tersebut sangat tergantung pada pola dan perilaku konsumsi, produksi, dan distribusi sumber daya alam yang dilakukan.Pada sisi inilah dominansi paradigma sustainable development menjadi sebuah pilihan.

Sebenarnya, masalah-masalah lingkungan di Indonesia adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah-masalah kebijakan, antara lain: apa orientasi kebijakan itu sendiri, bagaimana prinsip keadilan dijalankan, sudahkah hukum ditegakkan, dan mampukah kebijakan lingkungan mengendalikan dinamika perilaku konsumsi, produksi, dan distribusi sumber daya alam.Banyak kita temui instrumen kebijakan seperti peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup tidak sesuai dengan rentang manajemen sumber daya alam itu sendiri, mulai dari perencanaan, kelembagaan, pelaksanaan, sampai pengendaliannya.Contoh paling nyata adalah penyusunan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).AMDAL dapat dinilai gagal dalam mendorong perilaku usaha yang ramah lingkungan karena ternyata banyak juga usahawan yang tidak mempedomani AMDAL dalam manajemen usahanya. Bahkan AMDAL telah dijadikan sebagai alat legitimasi usaha-usaha yang memiliki potensi konflik sosial yang tinggi.

Masalah-masalah kebijakan lingkungan sudah muncul pada saat perumusan kebijakan itu sendiri.Sidney (2007:79) menyatakan bahwa perumusan kebijakan merupakan tahapan penting dalam proses kebijakan karena proses ini juga mengekspresikan dan mengalokasikan kekuasaan diantara kepentingan sosial, politik, dan ekonomi yang ada.Perumusan kebijakan di Indonesia seringkali didominasi oleh kepentingan politik yang menganut paham kapitalisme ekonomi.Contohnya, meskipun cadangan energi baru dan terbarukan sangat besar, namun pemerintah tetap belum mengalokasi sumber daya yang memadai untuk menggali potensi tersebut karena dianggap membutuhkan biaya yang besar dan teknologi yang tinggi.

Kinerja kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup juga menjadi persoalan.Selama ini, pengelolaan lingkungan hidup mulai dari perencanaan sampai pengendalian lebih didominasi oleh birokrat pemerintah.IDS (2006:13) menyatakan bahwa birokrat bukanlah eksekutor kebijakan yang netral karena mereka memiliki agenda politik sendiri.Dengan demikian, wajar bila kita sering melihat terjadinya benturan kepentingan pengelolaan sumber daya alam antara pemerintah dan masyarakat.Pada sisi yang lain, korporasi pun memiliki kepentingan sendiri yang cenderung melawan arus kepentingan masyarakat, sehingga kekuatan pemerintah dan korporasi seringkali berupaya merusak sistem sosial masyarakat agar dapat menguasai sumber daya alam.

Orientasi perumusan kebijakan yang memihak dan bersifat top down serta kelembagaan yang tumpul menyebabkan implementasi kebijakan lingkungan hidup di Indonesia masih “jauh panggang dari api”.Sebagai contoh, pembangunan wilayah perkotaan telah menciptakan masyarakat perkotaan yang konsumtif sehingga produk-produk impor menjadi merajalela.Akibatnya, kebijakan penggunaan produk lokal menjadi kebijakan “lip service” bernuansa ”nasionalisme semu”.Contoh lain, masyarakat Mentawai yang terkena tsunami baru bisa mendapatkan rumah yang layak pada areal relokasi dalam kawasan hutan setelah 2 tahun kejadian bencana alam tersebut.Hal ini disebabkan pemerintah setempat tidak berani mengambil kebijakan mendasar karena implementasi kebijakan kehutanan yang bersifat top down.Seperti yang diungkapkan oleh Pülzl dan Treib (2007:94), karakter proses implementasi kebijakan yang bersifat top down selalu membutuhkan panduan secara hirarki.Artinya, selama pedoman dari pemerintah pusat belum ada maka tindakan operasional belum dapat diambil, meskipun dalam kondisi bencana alam sekalipun.

Ketika perencanaan, kelembagaan, dan implementasi kebijakan lingkungan mengandung banyak kepentingan maka upaya pengendalian (termasuk penegakan hukum) juga menurut kepentingan yang dominan.Seringkali kasus-kasus pencemaran air sungai terbukti menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat sekitarnya, namun seringkali juga penegakan hukum baru berjalan ketika gangguan kesehatan itu sudah semakin akut.Di Indonesia, penegak hukum tidak mampu menegakkan aturan karena ternyata usaha-usaha di bidang pertambangan banyak yang dibekingi oleh penegak hukum itu sendiri.

Jadi, memang benar kita menghadapi sejumlah masalah lingkungan yang perlu segera ditangani seperti deforestasi, pencemaran, dan sebagainya.Namun lebih penting lagi komitmen pembuat kebijakan yang kuat menjaga etika dalam pembuatan kebijakan lingkungan dan memegang teguh prinsip-prinsip ekonomis, adil, fleksibel dan implementatif dalam seluruh tahapan proses pembuatan kebijakan.

Referensi :

[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.2010.Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap–ICCSR: Synthesis Report.Jakarta.Bappenas.

[IDS] Institute of Development Studies.2006. Understanding policy processes.A review of IDS research on the environment. Knowledge, Technology and Society Team Institute of Development Studies, University of Sussex.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan.2012.Statistik Kehutanan Indonesia.Jakarta.Kemenhut.

Kementerian Lingkungan Hidup.2010. Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).Jakarta.Kementerian Lingkungan Hidup.

Pülzl H dan Treib O.2007.Implementing Public Policy.Di dalam: Fischer F, Miller GJ, dan Sidney MS (Editor).Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods.New York.CRC Press.

Sidney MS.2007.Policy Formulation: Design and Tools. Di dalam: Fischer F, Miller GJ, dan Sidney MS (Editor).Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods.New York.CRC Press.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline