Belakangan ini, marak beredar himbauan untuk melakukan gerakan #RushMoneysecara serentak di media sosial. Adapun arti rush money ialah penarikan dana secara besar-besaran atau massal di bank. Isu gerakan ini muncul seiring adanya rencana aksi bela Islam jilid 3 yang sebelumnya pada 25 November 2016 berubah menjadi 2 Desember 2016.
Dalam catatan sejarah di Tanah Air, rush money pernah dilakukan pada tahun 1997-1998. Kala itu, rupiah melemah dan krisis moneter menerpa Indonesia. Pada awal Juli 1997, nilai dolar menguat hampir dua kali lipat, dari semula sebesar Rp2.450 menjadi Rp4.650. Penguatan dolar terus berlanjut menjadi Rp8.025 per dolar pada tahun 1998. Hingga sampai pada suatu titik kenaikan tertinggi menembus Rp17.000. Sumber
Pelemahan rupiah juga dibarangi dengan kebijakan pengetatan likuiditas oleh bank sentral. Banyak ditemukannya praktik perbankan yang melanggar ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) semakin memperburuk citra bank di masyarakat. Konidisi inilah mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, sehingga masyarakat berbondong-bondong melakukan penarikan uang besar-besaran di bank.
Di lain sisi, di saat krisis ekonomi sedang berkecamuk, turut juga terjadi fenomena krisis politik dan sosial. Hal ini dipicu dengan adanya tuntutan kuat masyarakat untuk melengserkan pemerintahan Soeharto dan menghentikan rezim orde baru, yang berujung dengan reformasi seperti saat ini. Sumber
Rush money bukan hanya memberi efek yang besar bagi perekonomian bangsa, tetapi juga berhasil membuat reformasi menjadi nyata di Republik Indonesia. Lantas bagaimana dampaknya, jika rush money juga terjadi saat ini? Berikut penulis rangkumkan 4 alasan mengapa kita harus menolak gerakan rush money.
Pertama, tingginya permintaan masyarakat dengan dana cash menyebabkan perbankan akan kesulitan memenuhi permintaan tersebut. Faktanya, bank hanya mencadangkan 5 sampai dengan 10% dana cash dari total dana pihak ketiga, yaitu dana nasabahnya.
Kedua, akan terjadinya pengulangan sejarah krisis moneter pada tahun 1998. Kala itu, pemerintah harus melikuidasi 16 bank dan mengeluarkan obligasi (surat utang negara) rekapitulasi perbankan hingga mencapai Rp430,4 triliun agar memperkuat modal perbankan. Dampaknya, hingga kini Indonesia masih menanggung beban untuk membayar bunga dan pokok akibat obligasi tersebut.
Ketiga, menimbulkan keresahan dan kepanikan pasar di masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa rush money merupakan hasutan yang sangat berbahaya bagi masyarakat. Rush money dapat berujung pada instabilitas ekonomi Indonesia, karena jika sampai terjadi justru merugikan masyarakat kelas menengah dan bawah.
Terakhir, rentan dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan lain seperti kelompok separatisme jika gejolak ekonomi yang dahsyat tersebut benar-benar terjadi. Sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Ratu Adil dalam akun twitternya @ratu_adil bahwa rush money berpotensi meruntuhkan perekonomian RI seketika. Bersamaan dengan itu, akan berkibarlah Maluku Tenggara Merdeka Mena Moria! Tak ketinggalan, meletus juga Aceh Merdeka dan Papua Merdeka. Seperti halnya pada krisis moneter yang berimbas pada tumbangnya pemerintahan Soeharto.
Melihat dari 4 alasan tersebut di atas, rush money benar-benar merupakan potensi ancaman nyata bagi perekonomian Indonesia. Meskipun hal tersebut disebut-sebut sebagai isu “hoax” belaka, menyebarkan atau bahkan melakukan rush money dapat berujung pada pelanggaran pidana. Sebagaimana yang disampaikan oleh Humas Polri, Irjend Polisi Boy Rafli Amar bahwa pelaku penyebar isu “hoax” rush money dapat diancam hukuman penjara maksimal enam tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar.
Selain itu, rush money bukanlah solusi bijak bagi permasalahan yang tengah dihadapi saat ini dan hanya memperkeruh suasana yang ada, terutama terkait panasnya perpolitikan di Ibu Kota. Tak bisa dipungkiri bahwa isu “hoax” rush money ialah imbas dari kuatnya tuntutan masyarakat untuk penyelesaian segera kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok.