Lihat ke Halaman Asli

Menguji Kualitas Kepemimpinan Jokowi dan Foke dalam Moment Kritis

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada begitu banyak cara untuk menguji kualitas kepemimpinan seseorang. Cara yang lazim digunakan adalah mendengarkan paparan visi, misi, dan programnya. Namun metode ini sudah dianggap tidak sahih lagi, karena setiap orang dapat merumuskan visi, misi, dan programnya dengan baik, namun tidak menjamin orang tersebut memiliki leadership skill yang baik untuk mengimplementasikannya. Selain itu, setiap orang dapat berkonsultasi dengan Mr. Google atau menyewa konsultan yang cerdas untuk merumuskan visi, misi, dan programnya sehingga apa yang dipaparkan tidak sesungguhnya mencerminkan visi otentik serta kehendak hati seseorang yang diuji.

Selain diuji dengan mempresentasikan visi, misi, dan program kerja, kualitas kepemimpinan seseorang juga bisa diuji dengan menelusuri rekam jejaknya. Cara ini tentu saja sangat efektif karena akan menyajikan data yang faktual tentang seseorang. Melalui cara ini, kita tidak hanya mendapatkan informasi tentang kemampuan manajerial seseorang, tetapi juga mencakup integritas diri serta dimensi kualitatif lain yang melekat dan dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik.

Saat ini, Jakarta sedang menghadapi proses politik untuk menentukan pemimpinnya periode 2012 - 2017 dimana yang berkompetisi adalah pasangan Jokowi Ahok dan Foke Nara. Siapakah yang memiliki kualitas kepemimpinan terbaik di antara mereka? Melalui uraian berikut ini, saya ingin mengajak anda untuk menguji kualitas Jokowi dan Foke dengan cara yang berbeda. Saya ingin mengajak pembaca yang budiman untuk menilai Jokowi dan Foke dari cara mereka merespons moment kritis.  Saya menganggap ini penting karena dari cara mereka merespons moment kritis kita bisa mendapatkan informasi yang memadai tentang kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, serta kemampuan manajerial dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk menyikapi moment kritis tersebut. Apa saja moment kritis yang pernah dihadapi oleh Jokowi dan Foke akhir-akhir ini dan bagaimana mereka meresponsnya?

Foke

Moment kritis paling krusial yang pernah dihadapi Foke tentu saja kekalahan yang sangat mengejutkan dari rivalnya Jokowi pada Pilkada putaran pertama pada tanggal 11 Juli yang lalu. Respons yang ditunjukan adalah Marah, baik kepada tim suksesnya maupun kepada Lembaga Survey yang sudah dibayarnya karena dianggap tidak bekerja dengan baik dan bahkan yang bersangkutan kemudian sempat “menghilang” sehingga sulit untuk diakses oleh orang yang ingin berkomunikasi dengannya. Dampaknya adalah ketidakpercayaan terhadap lembaga survey serta ketidakharmonisan tim sukses karena satu sama lain saling menyalahkan. Mungkin kemarahan ini adalah sesuatu yang manusiawi, tetapi bukankah sebaiknya beliau berintrospeksi diri terlebih dahulu karena bisa jadi sumber persoalan utama kekalahan beliau terletak pada dirinya sendiri? Kalau dia berintrospeksi diri, responsnya mungkin akan berbeda, dia mensyukuri hasil yang ada dan masih diberi peluang untuk kembali menjadi Gubernur Jakarta dengan memenangkan pertarungan pada Putaran Kedua. Masih terkait dengan suasanan kebatinan kekalahannya pada putaran pertama, saat beliau secara mengejutkan mendapatkan pertanyaan wartawan mengapa Foke tidak menjawab telepon dari Jokowi yang berusaha menghubunginya pada tanggal 11 Juli, dengan ekspresi yang marah namun tetap arogan, beliau menjawab mungkin salah sambung, mungkin yang dia menelpon pemadam kebakaran. Jawaban tersebut disesalkan oleh banyak orang karena menunjukan kepribadian Foke yang arogan dan cenderung melecehkan.

Moment kritis lain yang dihadapi Foke adalah ketika dia mengalami euphoria  optimisme. Euphoria optimisme itu muncul saat dia berada di tengah-tengah korban kebakaran di Karet Tangsin yang menyambut kedatangannya. Ya….rupanya bencana kebakaran yang dialami oleh warga dimaknai sebagai peluang untuk mendapatkan simpati pemilih, kembiraan korban menyambut kedatangan Gubernurnya yang membawa bantuan dianggap sebagai hasrat alamiah public yang mengelu-elukan sang rajanya, sehingga dia terjebak dalam euphoria dan keluarlah statement "Sekarang lo nyolok siapa? Kalo nyolok Jokowi mah bangun di Solo aja sono."Statement tersebut tentu saja sangat tidak etis, ada nuansa intimidatif terhadap korban sehingga tidak pantas seorang pemimpin bicara seperti itu di hadapan korban yang membutuhkan solusi segera.

Jokowi

Ada dua moment kritis yang paling krusial yang dihadapi oleh Jokowi. Pertama tentu saja keunggulan yang mengejutkan dalam Pilkada DKI putaran pertama. Saya memaknai peristiwa tersebut sebagai moment kritis karena keunggulan Jokowi dengan selisih suara yang sangat mencolok tentu saja sangat mengejutkan karena di luar dugaan. Moment seperti ini bisa saja membuat orang mabuk, lupa diri, dan terhanyut dalam arus taqabur. Rupanya Jokowi tetap bijak, menerima hasil yang ada dengan rasa syukur lalu kemudian langsung kembali menjalankan tugasnya seperti biasa sebagai Walikota Solo dan menyapa masyarakat sebagaimana biasanya. Ia tetap menghargai pesaingnya, menjalin komunikasi yang bijak dengan mereka dan tidak merasa dirinya sebagai manusia yang hebat. Ia justru memuji dan berterima kasih kepada masyarakat Jakarta yang memilihnya, dan memang benar keunggulan Jokowi pada putaran pertama tentu saja bukan karena kehebatan Jokowi sendiri, tetapi karena kerja keras dari para pendukungnya serta kepercayaan yang tulus dari masyarakat pemilih Jakarta. Kedua adalah berbagai black campign yang menyerangnya secara bertubi-tubi paska keunggulannya di putaran pertama. Isu SARA disebarkan melalui berbagai media seperti selebaran, spanduk, pamflet, dan sebagainya sampai dengan khotbah-khotbah di masjid. Bahkan ibundanya pun turut diserang dan difitnah oleh Rhoma Irama dengan menyebutnya sebagai nonmuslim. Semuanya itu dihadapi oleh Jokowi dengan tenang dan sabar. Langkah awal beliau untuk merespons berbagai fitnah itu adalah memilih untuk melakukan ibadah umroh, lalu kemudian kembali menjalakan aktifitas seperti biasa, baik sebagai Walikota Solo maupun sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta. Dia tidak hanya mampu mengendalikan dirinya untuk tetap sabar dan bijak, beliaupun sanggup mengendalikan tim dan seluruh masyarakat pendukungnya untuk tetap bijak dan focus bekerja memberikan pengabdian yang terbaik.

Siapa yang terbaik, Jokowi atau Foke? Anda sudah cerdas untuk menilai dan gunakan hak pilihmu untuk mewujudkan Jakarta Baru, Jakarta yang bermartabat dan manusiawi.





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline