Masih membekas di ingatan masyarakat Indonesia pada 2013 silam di tengah amburadulnya kepengurusan dan keringnya prestasi sepak bola Indonesia di level internasional. Pada saat itu muncullah Garuda Muda yang begitu gagahnya mengobati lara pecinta sepak bola di Indonesia. Sekelompok anak-anak muda hebat yang entah dari mana munculnya membukakan mata kita bahwa masih ada secuil harapan untuk kebangkitan sepak bola di tanah air.
Indra Sjafri adalah sosok sang arsitek di balik harapan itu. Indra Sjafri bagaikan oase di tengah gersangnya prestasi Timnas Indonesia di tiga dekade terakhir. Pelatih asal Pasaman, Sumatera Barat ini hadir dan memberi prestasi untuk Timnas Indonesia kelompok umur dalam satu dekade terakhir. Indra Sjafri membawa tiga tim berbeda meraih gelar juara yaitu Timnas Indonesia U-19 pada AFF CUP 2013, Timnas Indonesia U-22 pada AFF Cup 2019 dan yang terbaru adalah Timnas U-22 yang berhasil mempersembahkan emas bagi Indonesia pada Sea Games Kamboja 2023, setelah kurang lebih 32 tahun yang lalu kita terakhir kali meraihnya di Sea Games Manila 1991.
Namun dalam hal ini penulis hanya ingin mengajak pembaca untuk sedikit mengenang kembali kiprah Timnas Indonesia U-19 dan pelatih Indra Sjafri saat mereka berhasil menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013 silam. Kesuksesan pelatih asal Sumatera Barat itu tak hanya membawa euforia dan pengobat rindu bagi pecinta sepak bola di tanah air setelah sekian lama Timnas Indonesia tak pernah juara di level internasional, tapi juga menjadi hadiah penghibur pada momen-momen gelap kepengurusan sepak bola di Indonesia kala itu.
Masih membekas dalam ingatan kita bagaimana Gelora Delta Sidoarjo menjadi saksi kehebatan Evan Dimas dan kawan-kawan dalam mengalahkan lawan-lawannya pada saat itu. Namun, sayangnya, euforia dan kebahagiaan yang begitu menggebu itu tidaklah berlangsung lama, seketika saja kebahagiaan itu sirna, saat sebuah malapetaka mengerikan bernama "Tour Nusantara" itu muncul. Malapetaka ini mengejutkan dan sangat mengecewakan banyak pecinta sepak bola di tanah air. Publik sepak bola yang tadinya merasa bangga dan bersemangat dengan prestasi Timnas Indonesia U-19, tiba-tiba terpukul oleh kejadian tak terduga ini. Tour Nusantara, yang seharusnya menjadi momen berharga dan menggembirakan, berubah menjadi mimpi buruk yang tak terlupakan.
Garuda Muda menjadi aset berharga untuk di komersialisasi oleh pengurus dalam hal ini PSSI, setelah mereka tampil menjadi juara di Piala AFF U-19 yang digelar pada 2013 silam. Skuad asuhan Indra Sjafri itu begitu sangat di elu-elukan, wajah mereka begitu sering muncul di layar kaca, terlebih saat mereka berhasil lolos ke piala Asia U-19 yang digelar di Myanmar. Harapan baru pun tumbuh dalam hati masyarakat pecinta sepak bola di Indonesia. Permainan cepat dari kaki ke kaki yang diperagakan oleh anak asuh Indra Sjafri itu menunjukkan bahwa inilah Timnas Indonesia yang kita impikan dan harapkan sejak lama. Timnas U-19 adalah skuad impian bagi kita semua pecinta sepak bola di tanah air. Namun tiba-tiba di tengah gegap gempita dan euforia yang sedang dirasakan oleh masyarakat, PSSI muncul dengan ide konyolnya itu untuk mengambil keuntungan dibalik kesuksesan Timnas U-19.
Terlihat jelas sekali bagaimana Timnas U-19 di komersialisasikan oleh PSSI, mereka sudah bagaikan artis yang layak untuk dijual dalam pasar industri hiburan di tanah air. Alasan inilah yang mungkin membuat PSSI menggelar program Tour Nusantara dalam rangka untuk mengakomodasi kehebatan Timnas U-19 yang sedang meledak popularitasnya. Tidak tanggung-tanggung, PSSI menggelar Tour Nusantara hingga dua jilid, tujuan dari PSSI mungkin bagus, karena PSSI ingin agar kehebatan dan kematangan Skuad U-19 akan semakin terasah dengan menghadapi lawan-lawan yang secara usia lebih tua, tapi karena jadwal yang ketat serta kualitas lawan yang dihadapi jauh berada di bawah, maka tur nusantara ini tak lebih dari pertunjukan sirkus belaka yang dirancang sedemikian rupa oleh industri penyiaran di tanah air.
Coach Indra Sjafri pernah menuturkan kepada media, bahwa Tour Nusantara yang telah disepakatinya dengan PSSI dan Badan Tim Nasional berjalan tidak sesuai rencana. Kesepakatan awalnya adalah Timnas hanya akan tampil bermain di lima kota saja, dan tidak disiarkan secara live di televisi, namun apa daya, PSSI terlanjur melakukan deal dengan pihak televisi bahwa Evan Dimas dan kawan-kawan harus dipaksa bermain 20 pertandingan di berbagai kota di Indonesia bahkan saat bulan puasa. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi fisik dan stamina Skuad anak-anak Garuda Muda dipaksa kerja rodi demi memenuhi kesepakatan PSSI dan industri penyiaran pada saat itu. Selain itu, dengan banyaknya pertandingan yang disiarkan di televise, ini akan memudahkan lawan untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan Evan Dimas dan kawan-kawan. Namun yang lebih parahnya lagi, Evan Dimas dan kawan-kawan dipaksa bermain tiga kali dalam seminggu dan menempuh perjalanan beribu-ribu kilometer jauhnya demi melakoni agenda PSSI tersebut.
Indra Sjafri juga sempat mengatakan, bahwa dirinya pernah mengajukan keberatan dengan jadwal pertandingan yang terlalu larut malam. Namun pendapatnya itu lagi-lagi tidak dihiraukan oleh pihak televisi. Garuda Muda dipaksa bermain pada pukul 09.00 malam WIB, karena pada pukul 07.00 dan 08.00 WIB adalah jadwal untuk sinetron. Maka dengan jadwal pertandingan seperti itu anak-anak Timnas U-19 mau tidak mau harus tidur minimal jam 1 malam. Suatu pola tidur yang tentunya sangat tidak ideal dan masuk akal untuk ukuran atlet profesional seperti mereka itu. Kondisi Timnas U-19 yang diperlakukan seperti itu dalam Tur Nusantara justru membuat permainan Evan Dimas dan kawan-kawan tidak berkembang seperti yang diharapkan.
Timbul pertanyaan dibenak pecinta sepak bola tanah air, mengapa saat program Tour Nusantara dilaksanakan bukan tim lawan saja yang seharusnya di datangkan ke pusat latihan Timnas U-19 di Yogyakarta. Namun tentunya PSSI dan pihak industri penyiaran tentu punya perhitungan bisnis yang lebih cermat dari pada kita masyarakat awam. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa PSSI dan pihak televisi mendapatkan keuntungan besar dari program Tour Nusantara tersebut. PSSI sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk memajukan sepak bola di tanah air tentu membutuhkan dana yang besar untuk menjalankan program kerjanya, akan tetapi dengan mengorbankan masa depan Timnas U-19 bukanlah sebuah tindakan yang bijaksana untuk dilakukan.
Selanjutnya setelah menjalani program Tour Nusantara, Timnas U-19 dijadwalkan lagi untuk berangkat ke Brunei Darussalam untuk mengikuti kompetisi Sultan Hasanal Bolkiah Cup. Padahal sebelumnya Coach Indra meminta agar anak-anak asuhnya itu diikutkan ke kompetisi Cotiv di Spanyol agar mereka mendapat pengalaman baru melawan tim-tim hebat dari penjuru Eropa. Namun lagi-lagi permintaanya dari Coach Indra ditolak, karena kompetisi tersebut tidak menguntungkan secara bisnis, karena tidak memungkinkan untuk disiarkan di televisi Indonesia. Sebagai gantinya PSSI memilih untuk mengirim Timnas U-19 untuk berlaga di Turnamen Hasanal Bolqiah Cup agar bisa disiarkan di televisi, yang mana Turnamen Hasanal Bolqiah Cup tersebut adalah kompetisi untuk Timnas kelompok umur 21 tahun. Terlepas dari itu semua, apa yang dikhawatirkan oleh para pengamat sepak bola mengenai Tour Nusantara dan kebijakan nyeleneh PSSI akhirnya menjadi kenyataan. Garuda Muda kebanggan kita pun harus terjungkal oleh tuan rumah dengan skor mencolok 3-1.