Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara yang memiliki peran penting dalam menjaga dan menegakkan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia. MK berwenang menguji undang-undang terhadap konstitusi, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, serta memeriksa hasil pemilihan umum.
Selama 20 tahun berdirinya, MK telah menghasilkan berbagai putusan yang berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun hukum.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan perspektif otentik tentang refleksi 20 tahun MK, dengan mengambil catatan dan harapan publik dalam mewujudkan keadilan konstitusional. Perspektif otentik di sini berarti pandangan yang berasal dari pengalaman pribadi penulis sebagai salah satu warga negara yang peduli terhadap perkembangan MK dan konstitusionalisme di Indonesia.
Artikel ini tidak bermaksud untuk memberikan penilaian atau kritik terhadap kinerja MK, melainkan untuk menawarkan sudut pandang yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan pandangan umum.
Catatan pertama yang ingin penulis sampaikan adalah tentang peran MK dalam menjaga demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. MK telah memberikan kontribusi besar dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara, seperti hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk mendapatkan informasi publik, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, dan sebagainya. MK juga telah menunjukkan independensi dan integritasnya dalam menghadapi berbagai tekanan dan tantangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan putusan-putusannya.
Beberapa contoh putusan MK yang menjadi landmark dalam sejarah demokrasi dan HAM di Indonesia adalah putusan tentang judicial review UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MK No. 008/PUU-I/2003), putusan tentang judicial review UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (MK No. 001-021/PUU-I/2003), putusan tentang judicial review UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (MK No. 138/PUU-VII/2009), putusan tentang judicial review UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (MK No. 22-24/PUU-VI/2008), putusan tentang judicial review UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (MK No. 5/PUU-VI/2008), putusan tentang judicial review UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (MK No. 5/PUU-XII/2014), dan putusan tentang judicial review UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (MK No. 46/PUU-VIII/2010).
Catatan kedua yang ingin penulis sampaikan adalah tentang tantangan dan peluang MK dalam menghadapi dinamika sosial dan politik di Indonesia. MK tidak bisa lepas dari konteks sosial dan politik yang mempengaruhi proses pembentukan undang-undang maupun proses pengujian undang-undang. MK juga tidak bisa mengabaikan aspirasi dan kepentingan publik yang beragam dan seringkali saling bertabrakan dalam menuntut keadilan konstitusional.
Oleh karena itu, MK harus mampu menyeimbangkan antara prinsip-prinsip konstitusional dengan realitas sosial dan politik yang ada. MK harus mampu menunjukkan sensitivitas dan responsivitas terhadap isu-isu aktual yang berkaitan dengan konstitusi, seperti isu-isu terorisme, korupsi, intoleransi, diskriminasi, lingkungan hidup, hak-hak perempuan dan anak, dan sebagainya.
MK juga harus mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memudahkan akses publik terhadap informasi dan partisipasi dalam proses pengujian undang-undang. MK harus mampu memanfaatkan teknologi tersebut untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan edukasi publik terkait dengan konstitusi dan konstitusionalisme.
Harapan pertama yang ingin penulis sampaikan adalah tentang peningkatan kualitas dan kapasitas MK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. MK harus terus berupaya untuk meningkatkan kualitas putusan-putusannya, baik dari segi yuridis, filosofis, maupun sosiologis. MK harus terus berupaya untuk meningkatkan kapasitas hakim-hakimnya, baik dari segi kompetensi, integritas, maupun independensi.