Lihat ke Halaman Asli

Bukan Pecinta Alam

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


"Selama mereka masih bisa menikmati keindahan alam, mereka tidak akan peduli akan nasib alam"1

Kira-kira seperti itulah nasib (sebagian) para pecinta alam saat ini. Eh, siapa yang mengklaim pencinta alam? Kami penikmat alam! Oh, whatever.

Beberapa dekade terakhir, isu lingkungan memang sedang marak. Orang-orang mulai berlomba menjaga kelestarian Bumi, yang konon tengah terancam oleh 'makluk' yang benama pemanasan global (climate change). Gerakan cinta lingkungan dikampanyekan dengan massive-nya; Gerakan bersepeda, gerakan satu miliar pohon, gerakan mengurangi penggunaan kantong plastik, dan berbagai macam gerakan a la environmentalist yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. Ah, masa sih? Mungkin saja itu benar. Jika berdasar logika-logika yang disusun para ilmuwan lingkungan, sangat mungkin climate change sedang berlangsung. Hal itu juga diperkuat dengan fakta-fakta yang kita lihat sehari-hari: penggundulan hutan, berkembangnya industri kaya limbah, menjamurnya kendaraan bermotor berpolusi, dan pertumbuhan manusia-yang linear dengan meningkatnya jumlah pemukiman-ikut menambah udara di atmosfer bumi kian pengap.

Tunggu, tunggu! Sebenernya apa yang mau diomongin, sih?

Gue cuma mau berkeluh tentang mereka yang disebutkan Squidward di pembuka tulisan ini. Mereka yang hanya mau menikmati alam tanpa mau menjaganya-atau membelanya. Beberapa tahun terakhir, perampasan-perampasan lahan, baik itu milik warga atau berstatus tanah yang dilindungi, kerap terjadi. Pelakunya? Siapa lagi kalo bukan perusahaan yang diizinkan pemerintah. Banyak lahan pertanian atau pemukiman warga digusur karena tanah itu mengandung sumber daya alam yang berlimpah. Dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, tak terhitung kasus-kasus perampasan tanah oleh industri. Apa kaitannya dengan lingkungan? Kayak yang gue bilang tadi, pertumbuhan industri yang besar, terutama untuk komoditas sumber daya mineral, menjadi salah satu pemicu perubahan iklim: lahan hijau yang rusak, limbah yang beracun, polusi udara akibat proses ekstraksi dan sebagainya. Fenomena itu tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah berpenduduk, tetapi juga terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi area konservasi alam, seperti taman nasional. Tak perlu banyak argumen. Ketika industri menjarah hutan lindung, kita sudah bisa membayangkan apa yang terjadi. Hutan dibabat. Vegetasi hancur. Hewan-hewan kehilangan habitat. Tanah rusak akibat penggalian. Dan tentu saja, ekosistem sekarat.

Beberapa waktu lalu, mahasiswa pecinta alam (mapala) se-Banten dan warga kawasan Ujung Kulon, bahu-membahu berkampanye menolak rencana pemagaran Taman Nasional Ujung Kulon. Dalih yang dipakai pemerintah adalah demi mengintensifkan konservasi Badak Jawa yang terancam punah. Mengapa konservasi badak ditentang? Mereka bukan menentang konservasi badak, melainkan menolak pembatasan lahan yang menjadi akses mata pencaharian mereka. Mayoritas warga di sekitar area itu merupakan petani ladang yang sangat bergantung pada hasil hutan. Tetapi tidak hanya itu, mapala se-Banten dan warga juga menemukan fakta lain. Bahwa ada proyek besar di kawasan tersebut, sehingga dilakukan semacam upaya pembatasan akses dengan pemagaran kawasan taman nasional. Mereka menemukan beberapa bukti tentang pembabatan hutan di kawasan taman nasional yang ditengarai sebagai bagian dari sebuah proyek megaindustri. Karena usaha mapala dan warga yang massive, hingga tulisan ini dibuat, proyek pemagaran dihentikan (untuk sementara waktu). Ternyata, mahasiswa-mahasiswa itu tidak sembarangan menyematkan label 'pecinta alam' pada diri mereka. Karena mereka bersungguh mencintai alam dengan membela lingkungan dari kerusakan dan kerakusan segelintir manusia.

Konsep pecinta alam dikenalkan pertama kali oleh seorang 'demonstran' ternama, Soe Hok Gie. Dalam catatannya, Gie menjelaskan alasannya menjadi pecinta alam (baca: naik gunung). Kira-kira begini:


"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung."2

Pecinta alam tidak hanya menikmati alam. Pecinta alam itu politis. Apa yang dilakukan mapala se-Banten, persis seperti apa yang dibayangkan Gie tentang pecinta alam. Menjadi pecinta alam adalah menjadi pejuang.

Tapi sayang tidak semua 'pecinta alam' berpikir demikian. Masih banyak orang yang memahami konsep pecinta alam hanya sebatas naik-turun gunung, susur pantai dan goa, ekspedisi alam, namun tanpa menyertakan semangat politis untuk menjaga lingkungan, apalagi membelanya. Berapa banyak mapala yang bersuara ketika sumber mata air di Padarincang, Banten, yang menjadi sumber kehidupan warga, hampir dirampas Danone Aqua? Berapa banyak mapala yang giat berkampanye menolak perampasan kawasan-kawasan hijau oleh perusahaan tambang? Dan, siapa yang peduli ketika hutan di gunung yang kerap mereka daki terancam digunduli oleh korporasi? Tidak banyak-atau bahkan tidak ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline