Lihat ke Halaman Asli

Si Nenek Pemilik Ramadhan

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini hari 31 Juli 2011. Ya, besok tanggal 1 Ramadhan lupa tahunnya. Tapi yang pasti tanggal 1 Agustus 2011, juga hari pertama orang-orang muslim melaksanakan ibadah yang disebut saum atawa puasa. Tapi bukan soal itu yang mau saya ceritakan malam ini. Malam ini orang-orang yang akan beribadah puasa besok, lebih dulu melakukan ibadah shalat yang disebut tarawih/ taraweh, bebas. Mereka beramai-ramai, berduyun-duyun pergi ke masjid dan bukan gereja untuk shalat tarawih itu. Saya tidak. Saya tidak tarawih di masjid walopun saya niat puasa besok, tapi tarawih di rumah. Rumah kontrakan yang kami sewa di sebuah desa di Sleman, Jogjakarta.

Malam itu, ada Saya, Broto dan Zani ada dirumah. Kami menunggui rumah di awal bulan Ramadhan agar tidak ada maling yang shalat di rumah. Ah bukan, kami memang berada di rumah karena memang ingin berada di rumah. Jam tujuh lewat dua puluh kurang lebih, Broto mengajak kami untuk menghambur-hamburkan uang hasil memalak di Kantor Dinas Kependudukan Kota Jogja (bener ya, Brot?). Broto berinisiatif untuk makan sate di pinggir jalan kaliurang KM 7. Dekat Pasar Kolombo. Ya ditraktir, kalau tidak mana kami mampu? Kami cuma anak kost kere yang untuk makan pun cukup masak nasi yang diberi bumbu nasi goreng biar berasa asin, manis dan rasa tak karuan lainnya, dan sebutir telur. Tapi bukan saat yang tepat membicarakan urusan rumah tangga kost kami.

Berangkatlah kami menuju warung sate Cak Ali ditempat yang sudah saya sebutkan tadi. Tak jauh dari tempat kami, kira-kira 200 meter. Saya langsung menuju ke warung sate untuk memesan, sedangkan Broto dan Zani ke warung untuk beli rokok. Saya berjalan sendirian. Tetiba mata saya tertuju sesosok nenek yang sedang tertidur lemas di pinggir jalan. Sempat berpikir, “sedang apa nenek itu?”, apakah ia tunawisma atau pedagang? Karena ada beberapa sisir pisang, segerombol kacang, dan sebungkus jambu air, yang sekiranya akan dijual si nenek. Karena ragu, Saya melewatinya dan langsung ke warung sate yang persis ada disebelah nenek itu menggelar dagangannya. Saya memesan, dan tak lama Broto dan Zani datang bersama rokok yang mereka beli.

Tapi saya masih penasaran dan kembali ke depan warung untuk melihat si nenek yang ternyata posisinya sudah terduduk. Saya akhirnya menghampirinya dan coba bertanya kepada di nenek.

“Mbah, niki gedange didol?” (Nek, ini pisangnya dijual).

“Nggeh.” (Iya)

“Niki pinten, Mbah?” (ini berapa, Nek?) sambil menunjuk pisang ranum yang berwarna kekuningan. Tak jelas si Nenek menjawabnya, Saya pun coba menanyakan harga dagangannya yang lain. Hati-hati saya mendengarkan si Nenek menjelaskan harga dagangan-dagangannya itu, dan akhirnya saya mengerti. Akhirnya, saya memilih sesisir pisang ambon dan sebungkus jambu air untuk kemudian saya beli dan saya bawa pulang.

Si Nenek itu sudah renta. Malam itu dingin. Jogja sedang dingin yang menusuk tulang dalam beberapa bulan belakangan ini. Tapi si Nenek tetap menjajakan dagangannya, hingga malam dan entah akan kah ada orang yang berhenti membeli dagangannya? Karena sepintas, si Nenek hanya seperti gelandangan yang sedang tertidur di emperan toko. Akankah ada motor yang sedang melintas akan berhenti, akankah ada mobil yang akan berhenti? Saya ragu untuk itu.

Di hari pertama jelang bulan Ramadhan. Ketika banyak orang berduyun-duyun memburu pahala shalat tarawih perdana, mempersiapkan menu sahur yang nikmat untuk keesokan harinya, masih ada seorang renta yang entah berumah di mana, sedang mengais rejeki yang tidak seberapa. Jika ditotal, dagangannya itu tak lebih dari seratus ribu rupiah. Enggan saya sebut kata ‘kasihan’ untuk si Nenek itu. Karena saya yakin, si Nenek itu yang akan mendapatkan berkah di malam pertama bulan Ramadhan ini.

Lekas pulang, Nek. Istirahatlah, besok jika ada rejeki di siang hari Nenek tak perlu puasa. Karena orang-orang seperti kamilah yang seharusnya berpuasa, menahan nafsu kami untuk makan enak, yang seharusnya berpuasa untuk mempercepat perputaran kapital, menahan nafsu kami untuk membeli pahala di bulan suci ini. Untuk orang seperti Nenek inilah, Tuhan mendedikasikan bulan Ramadhan ini. Salam untuk keluarga di rumah, jika Nenek masih memiliki sanak keluarga.

Selamat datang bulan paling konsumtif, selamat datang para pencari pahala, dan selamat datang bulan paling ironi. Selamat datang Ramadhan 2011.

Sleman, 31 Juli 2011.

#np Little Baby Nothing - Manics Street Preachers




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline