Lihat ke Halaman Asli

Trend Keperibinatangan di Kalangan Manusia

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selamatkan Binatang!

Beberapa bulan belakangan, Saya kerap kali melihat atau mendengar informasi tentang pro-kontra keberadaan binatang, isu yang berkaitan dengan binatang, melestarikan binatang, keperi-binatangan atau apalah disebutnya. Ya, yang saya maksud adalah kepedulian manusia yang saya rasa berlebihan terhadap binatang. Beberapa bulan lalu, saya melihat reportase di televisi tentang “seniman” topeng monyet, yang menjadi polemik di kalangan pecinta binatang. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa topeng monyet adalah sesuatu yang amoral dan harus dihentikan. Keberadaan “balai latihan” topeng monyet menjadi tempat penyiksaan terhadap hewan yang konon bersaudara dekat dengan manusia tersebut. Mereka dipasung, tidak diberi makan, dan terkadang disiksa agar menjadi jinak dan menurut jika diperintah majikannya (manusia). Masih dengan modus yang sama. Pagi ini, saat iseng membuka Twitter dan melihat timeline dari @infolombok tentang wacana penghilangan Cidomo* di Lombok, NTB, dan mengganti transportasi tradisional tersebut dengan golfcar sebagai moda transportasi utama untuk para turis, Saya terpancing untuk berkomentar. Wacana macam apa itu? Cidomo sudah ada di Lombok sejak lama dan menjadi moda transportasi utama, selain menjadi nilai lebih wisata di Lombok. Lalu tetiba, pemerintah mewacanakan agar Cidomo digantikan dengan golfcar. Ini menjadi lucu ketika, setiap daerah berusaha mempertahankan tradisi/budayanya sebagai nilai jual pariwisata, pemerintah setempat malah ingin menghilangkan nilai jual tersebut. Pemerintah Kabupaten Lombok Utara (KLU) meyakini bahwa, meskipun Cidomo hilang, Lombok akan tetap menjadi tempat yang menarik bagi wisatawan, terutama turis asing. Apa benar demikian?

Beberapa hari lalu, Saya berbincang dengan seorang kawan dari California, AS. Dia adalah seorang traveller, yang kebetulan sedang berada di Indonesia untuk beberapa bulan. Ia bercerita kepada Saya, bahwa sangat aneh ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Apa ini Indonesia? mana budaya yang menjadi ciri khas negeri ini? Dia mengeluhkan, karena ternyata Indonesia (Jakarta) tak jauh berbeda dan bahkan lebih menyedihkan dari New York atau California. Gedung-gedung pencakar langit, mall-mall bahkan lebih modern di Jakarta daripada New York. Apa yang bisa saya katakan? Pada kenyataannya saya sepakat dan itu yang saya lihat di Jakarta. Maksud dari cerita ini adalah, apa yang menjadi nilai jual dari Indonesia ternyata bukanlah fasilitas-fasilitas modern. Turis-turis mancanegara tidak akan mau menghabiskan banyak uang ke Indonesia, jika yang mereka temukan tidak berbeda dengan yang ada di negara asal mereka (dan lebih buruk dibanding yang ada di negaranya). Mereka ingin sesuatu yang berbeda, yang khas, yang menjadi simbol budaya di negeri ini.

Lalu apa kaitan cerita tadi dengan keberadaan Cidomo. Jelas, bahwa Cidomo merupakan simbol pariwisata yang sudah terintegrasi dengan keindahan alam dan budaya di Lombok. Sehingga apabila Cidomo dihilangkan, akan membuat nilai jual pariwisata Lombok menjadi berkurang. Apakah Cidomo yang ada di Gili Trawangan, pulau yang terkenal tanpa polusi kendaraan bermotor, akan digantikan dengan golfcar? Mungkin itu yang ada di benak pemerintah setempat. Tetapi bukan itu yang menjadi perhatian utama Saya dalam tulisan ini. Usut punya usut, pemerintah melemparkan wacana tersebut dengan alasan banyak aktivis pecinta binatang memprotes perlakuan sang empunya Cidomo yang dianggap tidak berperi-kebinatangan. Menyebut bahwa, Cidomo adalah penyiksaan terhadap kuda, dan itu amoral. Entah benar atau tidak desakan itu. Karena saya masih berpikir bahwa, mungkin pemerintah merupakan dalang utama dari wacana ini dan mengambinghitamkan aktivis pecinta binatang sebagai alibi mereka. Proyek pengadaan golfcar bukankah bisa menjadi lahan subur bagi pemerintah? Mungkin kalian bisa menilai sendiri bagaimana mental pejabat-pejabat di Indonesia.

Lupakan sejenak tentang pejabat-pejabat itu, kita kembali ke bahasan awal tentang keperi-binatangan. Selain dua kasus di atas, ada juga ajakan untuk tidak berburu penyu yang menjadi tradisi bagi beberapa masyarakat adat di beberapa tempat di Indonesia, salah satunya di Pulau Berhala. Para aktivis pecinta binatang, mengatakan bahwa penyebab kepunahan penyu dunia adalah tradisi berburu dan memakan hewan yang katanya makhluk yang tersisa dari peradaban purba. Sehingga, wajib hukumnya untuk menghentikan perburuan dan konsumsi penyu oleh masyarakat-masyarakat yang sudah berlangsung ratusan atau bahkan ribuan tahun lamanya. Ikan hiu tak ketinggalan menjadi objek propaganda untuk memutus tradisi “pembantaian” binatang. Di daerah-daerah yang mempunyai tradisi berburuh hiu dan mengonsumsinya, diminta untuk menghentikan praktek yang dianggap amoral oleh para aktivis pecinta binatang. Bukan mereka yang awam, yang menjalankan traisi sesuai ketentuan alam, yang disalahkan. Yang bertanggung jawab atas kepunahan binatang-binatang tersebut adalah korporasi-korporasi besar yang mengeksploitasi binatang-binatang itu untuk restoran-restoran mewah, atau industri-industri fashion yang menjadikannya sebagai pernik pemuas kebutuhan lifestyle manusia. Juga kemarin, saat hari raya Idul Qurban, banyak orang di sekitar Saya, yang mendadak menjadi moralis binatang, yang menyebut bahwa ritual qurban adalah sesuatu yang biadab. Secara pribadi, saya memang kurang sepakat dengan ritual qurban itu sendiri, dari segi tafsir agama, ada hal yang janggal menurut Saya. Tapi lupakan itu, karena bukan menjadi locus dari tulisan ini. Saya mengira, banyak dari aktivis pecinta binatang melewatkan manfaat dari ritual qurban itu. Berapa banyak orang fakir yang akhirnya bisa makan daging setelah satu tahun berpuasa daging? Berapa banyak orang kelaparan yang akhirnya bisa memperpanjang umur hidup karena bisa makan daging? Terlalu banyak untuk disebutkan.

Dan yang tak boleh saya tinggalkan adalah heboh cerita tentang Komodo. Seperti yang sudah kita ketahui, Pulau Komodo yang menjadi habitat asli hewan purba Komodo, tengah diikutsertakan dalam kompetisi New 7 Wonders. Banyak orang berbangga dengan keikutsertaan Indonesia dengan wakilnya, Pulau Komodo dalam “pentas” dunia tesebut. Tapi ternyata, keikutsertaan ini juga banyak menimbulkan polemik. Sebut saja pro-Komodo, orang-orang yang mendukung keikutsertaan dalam New 7 Wonders, mungkin menganggap bahwa dengan makin dikenalnya Pulau Komodo, akan membuat dunia lebih peduli dengan kelestarian spesies tersebut yang konon jumlahnya hanya 5000 ekor dan tersebar di Pulau Komodo dan pulau-pualu kecil di sekitarnya. Selain akan lestari, pengakuan Pulau Komodo sebagai satu dari 7 keajaiban dunia akan meningkatkan perekonomian warga sekitar dengan menggeliatnya pariwisata di sana, dan otomatis akan mensejahterakan warga lokal. Apa benar demikian? Rasanya kita perlu melihat lebih jauh satu persatu.

Pertama, usaha memperkenalkan Pulau Komodo terhadap dunia sangat berbanding terbalik dengan usaha untuk melestarikan hewan tersebut. Apa jadinya jika orang dari seluruh penjuru dunia berdatangan ke Pulau Komodo untuk melihat salah satu “keajaiban dunia” yang tersisa? Tidak ada di dunia ini, tempat yang lestari, dan indah, jika banyak manusia berdatangan ke tempat tersebut. Komodo sudah nyaman dengan habitatnya tanpa gangguan manusia. Lalu bagaimana mungkin mereka akan nyaman dengan keberadaan manusia yang ingin “bercengkrama” dengan mereka? Yang ada mungkin Komodo-komodo itu akan mengalami depresi karena mendadak habitatnya dipenuhi manusia-manusia perusak, yang sok peduli dengan keberadaan mereka. Suatu habitat, flora maupun fauna, akan tetap lestari hanya apabila manusia dijauhkan dari keberadaannya. Kedua, soal proyeksi kenaikan tingkat perekonomian warga lokal, jika Pulau Komodo terpilih menjadi salah satu keajaiban dunia. Masih dari Twitter, namun berbeda sumber.

Akun @LSMYeah membeberkan tentang kepemilikan dan fakta di balik keikutsertaan Pulau Komodo dalam New 7 Wonders. Bahwa 60 persen kepemilikan Taman Nasional Komodo dimiliki oleh salah satu LSM dari Amerika Serikat, bernama TNC (The Nature Conservation), di bawah badan hukum PT Putri Naga Komodo. Dan sisanya dimiliki oleh PT Jayatama Putrindo Utama. Jadi tidak ada kepemilikan mutlak pemerintah terhadap taman nasional tersebut. Taman Nasional Pulau Komodo sudah di privatisasi! Sepanjang sejarah privatisasi di Indonesia, tidak ada satu pun masyarakat lokal yang menerima mayoritas profit dari berdirinya perusahaan/ lembaga profit tersebut. Lihat di Papua dengan Freeport-nya, NTB dengan Newmont-nya, dan tempat-tempat lainnya, tak ada dari mereka yang berhasil mempertahankan tradisi, kelestarian alam, dan mental bersahaja mereka jika uang sudah menginvasi kehidupan harian. Bisa dijamin warga setempat tidak akan mendapat apa-apa selain ampas dari industri pariwisata di Pulau Komodo. Paling banter, korporasi yang menaungi TNK hanya memberikan corporate social responsibility yang tidak seberapa dibanding dengan budaya, alam dan mental mereka yang dipaksa dihilangkan.

Ketiga, yang lebih ironis, Pemenangan Pulau Komodo (P2K) rela mengeluarkan uang jutaan dollas AS, untuk bisa mengikutsertakan Komodo dalam ajang tersebut, sementara di porvinsi yang sama (NTT), masih ada ratusan ribu, atau mungkin jutaan orang yang kelaparan dan menderita busung lapar. Sementara kita berbondong-bondong ikut memenangkan Komodo sebagai warisan dunia. Manusia macam apa kita ini? Maladewa, yang semula ikut dalam kompetisi itu akhirnya mengundurkan diri karena biaya keikutsertaan yang terlalu mahal. Karena mereka berpikir masih banyak yang bisa dilakukan dengan uang sebegitu besarnya untuk membangun masyarakatnya lebih baik.

Manusia yang Berkeperibinatangan

Beberapa isu yang disebutkan memang berasal dari aktivis-aktivis pecinta binatang. Tapi yang lebih menyedihkan adalah orang-orang yang mendadak peduli dengan keberadaan binatang-binatang tersebut. Mereka yang ahistoris terhadap isu, akhirnya secara membabi buta memberikan dukungan, tanpa tahu sebab, juga untung-rugi dari masalah tersebut. Tak bisa dipungkiri bahwa semua isu tersebut berkaitan, antara keberadaan hewan dan kelangsungan hidup manusia. Tukang topeng monyet dipaksa menghentikan mata pencahariannya karena tidak berperikebinatangan. Kusir Cidomo dipaksa pensiun karena transportasi itu ditengarai telah menyiksa kuda, dan digantikan dengan golfcar. Fakir miskin dan orang-orang yang tidak bisa makan daging setiap waktu dipaksa puasa terus menerus karena ritual qurban dikritik karena dianggap sebagai sesuatu yang amoral. Dan Pemenangan Pulau Komodo rela mengeluarkan uang jutaan dolar agar bisa menjadi salah satu keajaiban dunia sementara masih banyak orang yang membutuhkan uang itu untuk sekedar makan. Kita pun ikut serta dalam voting untuk memenangkan Komodo dengan semangat nasionalisme semu. Atas nama persatuan. Keberadaan manusia harusnya menjadi perhatian manusia lainnya, bukan malah terabaikan dan tergantikan dengan keberadaan binatang-binatang yang harus mendapat perlakuan yang “manusiawi”. Saya tidak sepakat dengan penyiksaan hewan, saya tidak sepakat dengan ritual kurban. Tetapi saya lebih tidak sepakat jika orang lebih memerhatikan keberadaan binatang daripada manusia-manusia yang juga masih membutuhkan bantuan moral dan materil.

* Cidomo: semacam delman/andong; berasal dari 3 gabungan kata: cikar, dokar, motor; moda transportasi khas Lombok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline