Sekolah Online sudah terdengar biasa di telinga kita sekarang ini.
Seperti yang kita ketahui, pemerintah telah menerapkan sistem normal baru sejak awal Juni kemarin. Terhitung sampai hari ini (4/8), kita telah menerapkan normal baru selama satu bulan lebih.
Dalam normal baru, pembatasan aktivitas di luar rumah mulai dilonggarkan, para pekerja diperbolehkan untuk kembali bekerja dan tempat-tempat wisata, tempat makan umum, dan mall juga sudah mulai dibuka kembali.
Namun tetap saja untuk pelaksanaannya harus mematuhi protokol kesehatan yang ada sepert memakai masker, menjaga jarak, menghindari penggunaan bersama, dan untuk tempat wisata, tempat makan umum ataupun mall wajib menyediakan tempat cuci tangan, pendeteksi suhu tubuh, dan lain sebagainya.
Beberapa minggu setelah diterapkannya normal baru, tahun ajaran baru bagi para siswa sekolah dasar hingga menengah pun juga dimulai. Hingga saat ini (4/8) mungkin sudah terhitung tiga mingguan.
Berdasarkan keputusan dari Kemendikbud, sekolah-sekolah harus menerapkan pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran online. Hal tersebut tentu saja memicu perdebatan di berbagai pihak tentang keuntungan dan kerugiannya.
Di samping adanya perdebatan tersebut, yang kurang lebih tentang meledaknya penggunaan kuota data dan keterbatasan kemampuan para siswa, guru, maupun orangtua dalam menggunakan teknologi yang mendukung, terdapat pertanyaan yang muncul. Yakinkah para siswa tersebut benar-benar belajar dan mengikuti kegiatan pembelajaran daring dengan baik?
Kebanyakan dari para siswa tersebut menggunakan hp, laptop, maupun komputer sebagai sarana mereka. Untuk anak seusia sekolah menengah, pasti banyak yang sudah diberikan hp maupun laptop pribadi, yang artinya miliknya sendiri dan hanya dipkai olehnya.
Sehubung dengan hal tersebut, kita juga sangat memahami bahwa di dalam alat elektronik tersebut terdapat berbagai macam aplikasi maupun software yang mana mungkin tidak dibutuhkan bagi kegiatan pembelajaran online mereka.
Alih-alih mengikuti kegiatan pembelajaran daring, justru mereka memainkan permainan yang tersedia di alat elektronik tersebut. Bisa juga mereka lebih memilih untuk membuka aplikasi sosial medianya daripada mendengarkan gurunya mengajar ataupun mengerjakan tugas yang diberikan.