Lihat ke Halaman Asli

Fera Andriani Djakfar

Ibu rumah tangga, Dosen, Guru madrasah, Penulis Buku: Dari Luapan Sungai Nil, Surat Dari Alexandria, Kejutan Buat Malaikat, Arus Atap dan Cinta, Serial Addun dan Addin, Islam Lokal: Fenomena Ngabula di PEsantren Madura

Ketika Poligami Jadi Solusi

Diperbarui: 12 Maret 2021   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: liputan6.com

          Ketika pembicaraan tentang poligami ramai lagi, saya teringat sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh guru saya. Sebut saja namanya Gus  Malik. Mohon maaf saya tidak memakai nama asli guru saya untuk menjaga privasi, karena saya belum minta izin khusus untuk mengekspos salah satu episode dalam hidup beliau.

          Gus Malik bercerita bahwa beliau adalah putra seorang kiai di Jawa Tengah. Ibu Gus Malik (Bu Nyai) sakit parah hingga bertahun-tahun (Gus Malik tidak menyebut nama penyakitnya apa, saya pun tidak mau terlalu kepo). Abah Gus Malik membawa sang istri tercinta berobat kemana-mana, bahkan hingga ke luar negeri. Padahal saat itu masih era 70-an. Itu cukup menjadi bukti keseriusan untuk ikhtiar berobat.

          Di tengah sakit parahnya, Bu Nyai  berpesan kepada suaminya agar menikahi Mbak Siti (bukan nama sebenarnya). Mbak Siti ini adalah santriwati yang selama ini membantu urusan di dalam rumah Pak Kiai dan Bu Nyai. Di kalangan pesantren Jawa, mereka dikenal dengan sebutan 'santri ndalem.' 

Mbak Siti ini sudah dikenal oleh Bu Nyai sebagai sosok yang sangat telaten kepada putra-putri Pak Kiai yang masih kecil-kecil. Bu Nyai pun tak lama kemudian meninggal. Nah, akhirnya Pak Kiai menikahi Mbak Siti. Hanya saja menikahnya setelah sang istri meninggal atau sebelum itu, saya juga lupa bertanya pada Gus Malik.

          Andai menikahnya sebelum Bu Nyai meninggal, maka dalam kondisi itu poligami sebagai solusi. Jika diharamkan, maka orang-orang dalam situasi Pak Kiai itu akan ada dalam kesulitan besar dan pilihan yang sulit. Apakah akan memilih istri yang sakit dan sudah tidak bisa melayani secara lahir batin? Sementara dia adalah laki-laki normal yang mempunyai fitrah dan hasrat biologis manusiawi. 

Jika memilih Mbak Siti, apakah kemudian dia harus menceraikan Bu Nyai di saat kondisinya sangat lemah? Namun itu tidak usah diperdebatkan karena saya tidak tahu pasti apakah pernikahan itu terjadi setelah Bu Nyai meninggal atau sebelumnya. Selanjutnya, ini yang pasti dan kabarnya jelas.

          Pak Kiai pun menikahi Mbak Siti yang notabene adalah santriwati  ndalem yang hebat dalam urusan internal rumah dan urusan domestik. Adapun untuk urusan dakwah, mengajar santri, dan urusan umat lainnya, Mbak Siti yang meski statusnya sudah menjadi Bu Nyai, tidak mempunyai kemampuan untuk mengemban peran publik itu. 

Maka atas musyawarah keluarga besar, Pak Kiai dicarikan istri lagi yang bisa memikul beban dakwah dan menjalankan peran publik. Jadilah Pak Kiai menikah lagi, dijodohkan dengan salah satu perempuan yang masih mempunyai jalur kekerabatan dengannya. Gus Malik menceritakan bahwa mereka semua (Pak Kiai,  dua istrinya, dan anak-anak Kiai) biasa makan bersama dalam satu meja  makan besar. Semua akur dan mempunyai perannya sendiri-sendiri.

          Dalam kisah tersebut, tampaklah bahwa poligami sebagai solusi. Andaikata diharamkan, maka bagaimana nasib Mbak Siti jika Pak Kiai untuk kebutuhan tugasnya harus beristrikan perempuan yang tangguh di jalan dakwah? Atau jika mempertahankan Mbak Siti, bagaimana Pak Kiai dalam mengurus santri-santrinya? Tentunya dia butuh sosok yang bisa diajak berdiskusi dalam permasalahan umat, perjuangan, dan pendidikan generasi mendatang.

          Poligami memang ada dalam syariat Islam, tapi bukan Islam yang memulai. Sejak belum datangnya Islam pun banyak laki-laki yang menikahi lebih dari satu istri. Islam hanya salah satu (atau bahkan satu-satunya) agama yang dengan gentle mengakui keabsahan poligami. Tujuannya adalah sebagai solusi untuk hal-hal darurat, agar umat Islam tidak terjerumus dalam kerusakan yang lebih parah. Namun sayangnya, wajah poligami yang demikian sering tertutupi oleh praktik yang salah dan seenaknya dari para praktisinya. Sekali lagi, bukan salah syariatnya, tetapi ada oknum pelaku yang secara  oportunis memanfaatkan kehalalan ini untuk memenuhi nafsunya belaka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline